Judul di atas adalah pertanyaan yang menggelitik, sebab orang beranggapan bahwa selama ini umumnya dunia adalah tidak adil terhadap perempuan. Pendapat semacam itu ada benarnya, sebab patriarki adalah gagasan dan budaya yang memang cenderung menindas terutama perempuan. Peran perempuan dikecilkan dalam banyak hal seperti upaya domestifikasi yang memuat sejak dahulu posisi perempuan kalo dalam bahasa Jawa disebut macak, masak dan manak alias berdandan; bekerja di dapur dan menghasilkan anak. Atau lebih keren dalam Jerman adalah Kinder, Kurche, Kirche atau ngurusin anak, kerja di dapur dan pergi ke gereja. Nggak jauh beda kan?
Maka upaya untuk menghasilkan kesetaraan yang dilakukan sejak berpuluh tahun lalu hingga sekarang membuat posisi perempuan harus lebih baik. Itu jalan yang tidak mudah. Semisal urusan hak suara dan memilih dalam pemilu saja, baru diperoleh perempuan di abad ke-20 di banyak negara. Belum lagi urusan bekerja, di mana gaji perempuan relatif bisa lebih kecil dibandingkan lelaki lantaran dianggap bukan kepala keluarga. Padahal perempuan baik yang belum atau sudah pernah menikah banyak pula menanggung beban hidup keluarga dari sisi sosial maupun ekonomis. Ditambah pula soal kekerasan terhadap perempuan yang juga rentan terjadi dalam berbagai level seperti verbal hingga fisik. Rumit pastinya.
Akan tetapi apakah hal yang sama juga terjadi terhadap lelaki? Banyak yang mengira bahwa posisi lelaki adalah bersifat superior terhadap perempuan dalam nyaris semua hal. Ternyata nggak juga. Budaya patriarki seolah membuat lelaki harus selalu kuat dan jadi pemenang yang menentukan. Tidak ada ada orang yang percaya bahwa lelaki dapat menjadi korban kekerasan yang sama mulai dari verbal hingga fisik. Lelaki selalu dikondisikan dan dibuat untuk menanggung beban yang lebih besar dengan alasan keunggulan fisik, harkat dan martabat yang dimiliki. Nggak percaya? Coba saja lihat alasan pria tidak boleh menangis dan perempuan bisa. Jika menangis, lelaki bakal dianggap cengeng. Lelaki harus selalu be agentlemen dan protektif terhadap perempuan, tapi perempuan nggak harus selalu be a lady kan? Sebab lelaki yang banyak perempuan disebut fakboi, sedangkan perempuan di tengah banyak lelaki disebut pilih-pilih dan enggan bersaing dengan perempuan lain.
Lelaki penggoda disebut sebagai pelaku pelecehan seksual, kasar dan vulgar. Perempuan penggoda paling banter hanya disebut iseng atau sekedar agresif. Ada gitu yang percaya bahwa lelaki bisa menjadi korban perkosaan? Meski persentasenya terbilang minim, tapi perkosaan terhadap lelaki kerap dianggap remeh lantaran dianggap bisa melakukan perlawanan. Padahal perkosaan terhadap lelaki terjadi tidak saja oleh perempuan tetapi juga bisa oleh sesama lelaki. Ironisnya, perkosaan oleh perempuan terhadap perempuan pun juga dianggap tidak mungkin bahkan dituding sebagai pilihan-pilihan yang keliru bahkan dilakukan atas dasar kesepakatan. Budaya patriarki juga menempatkan lelaki dalam banyak kewajiban sementara perempuan punya opsi jauh lebih banyak dengan argumen fisik hingga psikologis. Lelaki harus kerja, perempuan nggak harus. Lelaki harus menanggung keluarga, sedangkan perempuan tidak meski beresiko terhadap diskriminasi upah jika bekerja. Lelaki harus bisa kerja fisik, sedangkan perempuan tidak. Jika perempuan bekerjasama secara fisik, maka lelaki dituding sebagai pemalas. Semisal di Bali banyak perempuan bekerja sebagai pekerja mengangkut batu atau kuli bangunan dan para suaminya dianggap hanya menikmati waktu dengan berkesenian, main judi atau berleha-leha. Itu sungguh stereotype yang keliru. Padahal dalam soal pembagian peran, lelaki di Bali bertanggung jawab pula terhadap urusan masak terlebih dalam acara komunal yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Lelaki maupun perempuan menjalani peran yang juga setara dalam soal hak dan kewajiban yang berlaku juga di dalam aktivitas hidup sehari-hari.
Dengan demikian, budaya patriarki tidak saja menindas perempuan tetapi juga tanpa disadari mengecilkan bahkan menganggap remeh peran lelaki. Misalnya dalam contoh terbaru adalah kasus Depp vs Heard. Aktor kawakan Johnny Depp menuntut mantan istrinya, Amber Heard dalam defamation trial atas pencemaran nama baik dan kekerasan yang dilakukan Heard selama dua tahun pernikahan mereka. Depp memenangkan ganti rugi 15 juta dollar Amerika, sedangkan Heard hanya mendapat kompensasi sebesar 2 juta dollar. Meski secara realisasinya Depp hanya mendapat 10 juta dollar lebih, tapi nama baiknya dipulihkan. Selain itu kemenangan Depp memberi harapan bagi para lelaki lain yang juga pernah menjadi korban sikap abusif perempuan untuk setidaknya membuka diri dan berani jujur. Sebab selama ini, publik tidaklah mengira bahwa perempuan juga bisa melakukan kekerasan yang sama. Terlebih posisi perempuan yang dianggap lemah, harus dilindungi dapat pula memanfaatkan keperempuannya untuk bisa bertindak bahkan jauh dari apa yang dibayangkan terhadap lelaki. Begitu ada asumsi bahwa orang seperti Johnny Depp melakukan kekerasan, atau kasus sebelumnya yang menyangkut Karan Oberoi seorang aktor asal India maka muncul gerakan #MeToo dan cancel culture. Oberoi dituduh melakukan perkosaan terhadap mantan pacarnya. Ketika Depp maupun Oberoi ditemukan tidak bersalah melalui proses pengadilan, maka muncul hashtag tandingan yakni #MenToo.
Dari kasus tersebut, ada beberapa hal yang kemudian dapat ditarik kesimpulan. Pertama, tidak ada gender yang lebih sempurna atau unggul dibandingkan yang lain. Feminisme yang kebablasan mengajarkan bahwa perempuan bukan lagi setara, tetapi unggul dibandingkan lelaki. Itu sama aja kalo naik transportasi publik, minta lelaki harus mengangkat pantat dari kursi, berdiri untuk mengalihkan duduknya kepada perempuan. Akan tetapi adalah adakah perempuan mau berdiri buat lelaki yang jauh lebih tua renta bahkan difabel? Belum tentu. Apakah perempuan akan rela berbagi dengan sesamanya? Lihat saja gerbong kereta perempuan saat jam sibuk. Jauh lebih buas ketimbang gerbong umum. Kedua, isu kesetaraan adalah membagi peran, hak dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perempuan tidak saja dalam wilayah domestik seperti rumah tangga tetapi juga ruang profesional. Sudah sewajarnya tidak ada diskriminasi upah terhadap perempuan, sama halnya dengan peran lelaki untuk mau dan berani tampil di dapur selain kerja di kantor.
Dengan demikian, feminisme yang kebablasan itu sebenarnya lahir dari cara pandang yang sama salah kaprah terhadap budaya patriarki itu sendiri. Dengan menyatakan bahwa perempuan harus lebih unggul dibandingkan lelaki, sama saja dengan mengatakan dan mengafirmasi secara tidak langsung terhadap kondisi, stigma dan juga kontroversi yang terjadi dengan yang berbeda gender. Perempuan bisa bersuara dan dibela ketika menjadi korban kekerasan. Lelaki? "Ah cemen lu, masa' gitu doang nggak bisa". Nggak heran jika Depp atau Oberoi harus membela diri dengan tampil ke ruang publik lantaran stigma tersebut membuat reputasinya jatuh, dijuluki wife beater atau pemerkosa oleh media, kehilangan kepercayaan, frustrasi dan sempat dijauhi oleh para penggemarnya.
“A gender-equal society would be one where the word ‘gender’ does not exist: where everyone can be themselves.” ~ Gloria Steinem
Padahal yang namanya bejad itu nggak kenal usia, status sosial apalagi gender. Mau lelaki atau perempuan sama saja. Budaya patriarki akhirnya jelas, tidak saja menindas perempuan tetapi juga membebani lelaki. Cara pandang, stigma dan persepsi yang muncul selalu jadi berat sebelah bagi keduanya. Tidak ada jalan lain kecuali secara terbuka mengakui bahwa potensi negatif apapun akan selalu bisa terjadi bagi lelaki dan perempuan. Jangan pula sok-sokan menghitung siapa yang paling dirugikan, sebab tidak ada yang pasti lantaran masih banyak yang harus dibuka dari begitu banyak tabir yang menyelimuti peran keduanya. Kita tau lelaki bejad semisal pemalas, tukang gebuk bini, gatelan, main cewek, ogah kerja, nadah tangan doang, tapi mau mencitrakan diri sebagai seorang sosok yang berwibawa, penyayang, dan disukai. Perempuan bejad juga sama; mau kelihatan mandiri, matre, tukang maki, kontrol suami, pelakor, ogah berbagi, tapi juga menjaga imaji sebagai sosok yang manis bisa diterima banyak orang, murah senyum dan berlagak pilon.
Maka adilkah dunia terhadap lelaki? Tidak ternyata. Demikian juga terhadap perempuan. Sama tidak adilnya. Hanya saja, suara ketidakadilan terhadap lelaki jauh tenggelam ke bawah. Tertutup oleh semangat emansipasi dan feminisme yang jauh ke atas. Larut oleh opini tentang peran maskulin yang jadi kewajiban. "Masa lu jadi lelaki kok gitu? Emangnya tititlu kemana?" Gitu katanya.