Orang sering mendengar istilah besar mulut, gede bacot, atau sejenisnya. Padanan yang sama bahkan lebih banyak dalam bahasa Inggris adalah braggart, big mouth, boastful atau blowhard. Istilah semacam itu adalah bentuk peyoratif terhadap seseorang yang bukan saja membual tetap juga mengumbar secara berlebihan tentang apapun. Bisa tentang kondisi diri, bisa juga soal pengetahuan, bisa soal pencapaian, bisa apa saja yang dianggap bisa membanggakan, diakui, terpandang atau dianggap menjadi 'orang yang perlu diperhitungkan'. Hal semacam itu bukan saja yang bersifat material seperti kepemilikan tapi juga relasi, kedekatan bahkan kenal dengan yang dianggap tokoh pun juga jadi bahan untuk bisa dipamerkan.
Pertanyaannya adalah, mengapa orang perlu melakukan itu? Bukanlah lebih baik biasa-biasa saja? Justru jawaban yang pertama kali didapat, adalah dengan pertanyaan kedua tersebut; tidak ada orang yang ingin jadi biasa-biasa saja. Banyak yang ingin mendapat pengakuan sosial baik secara langsung atau tidak langsung. Banyak yang ingin dikenal karena atribut yang mungkin selama ini dianggap kurang diketahui orang. Atribut itu bisa ukuran fisik seperti cantik atau ganteng, berduit, punya ini itu, atau non fisik seperti pengetahuan, pendidikan formal, akses relasi dan sebagainya. Nah, bagaimana jika atribut itu minim atau bahkan sama sekali nggak muncul? Bisa insecure pastinya. Jadi harus dibuat tampil dan jika minim dilakukan eksploitasi semaksimal mungkin. Terlebih sekarang peluang dan ruang untuk melakukan eksploitasi bisa sangat mudah dengan media sosial. Tinggal bikin status, komentar, menyerang atau bertahan, sudah gampang untuk dilakukan. Ujungnya perkara impresi yang harus dibuat naik melebih puncak gunung. Sebab impresi akan mengundang admirasi atau kekaguman. Begitu katanya.
Jadi dapat dilihat bahwa para pembual atau pembesar-besar isu adalah orang yang haus dan butuh pengakuan sosial. Sebab hanya itu yang dianggap bisa membanggakan diri di tengah khalayak yang anonim. Jangan nyengir dulu. Kalo sedekah aja dipamerin di medsos bukankah sama juga dengan mengekploitasi kebajikan diri, selain mengekploitasi tindakan bermurah hati terhadap orang lain? Nah, mendapat pengakuan sosial jadi urusan penting sebab dengan membanggakan diri secara langsung atau tidak langsung, akan dianggap memberi kompensasi yang berlebih. Contohnya kalo terima telpon di ruang publik, sengaja dijawab keras-keras jumlah nominal proyek, mau ketemu pejabat hingga titip salam buat pak boss yang sering di tipih. Itu di tempat umum, apalagi di medsos. Semisal orang yang punya duit mungkin akan lebih mudah mengeksploitasi kepemilikannya. "malem-malem cari kopi sendirian sambil bawa Mersih," tulis statusnya. Itu bukan soal kopi, bukan soal sendirian. Mau nunjukin bawa mobil kan? Beda lagi yang nggak punya cuan, "gue kenal tuh yang kemaren bawa Mersih. Dia sempat ngajak cuma gue nggak mau". Oh, mau memperlihatkan akses dan relasi sosial rupanya.
Maka jangan heran jika seribu komentar saling menjual akan muncul ketika menanggapi satu fenomena tertentu. Ada yang bilang melakukan, ada yang ngaku kenal, ada yang nyebut itu temen, ada yang ngeklaim kalo dia yang betulin itu Mersih, ada yang berseloroh kalo dia yang jual kopinya, ada yang bahas pengetahuannya soal otomotif dan masih banyak lagi. Tidaklah mengherankan jika rentang pembualan itu bisa sangat besar dan sangat tergantung kepada penerimaan dari orang yang mendengar. Hiruk pikuk semacam itu bisa jadi cuma becandaan kosong yang buang waktu dan nggak perlu, bisa pula memang pada dasarnya dibuat agar orang tidak menjadi ketinggalan pembicaraan. Diakui ada, itu sangat penting buat mereka yang memang pada dasarnya defisit perhatian dan juga kurang sana sini.
“Some people brag about standing for something so hard and so much, that they do not realize that they are actually sitting.” ~ Justin K. McFarlane Beau
Tapi jangan kuatir. Sebab dengan melihat bagaimana orang membual ada banyak pelajaran penting yang bisa didapat. Pertama, orang jadi paham bahwa memang ada karakter semacam itu yang tidak perlu ditanggapi secara serius. Menimpali dan mengurusinya adalah justru adalah target mereka yang harus tercapai. Ngapain juga dipikirin? Itu udah tabiat yang tidak akan mudah berubah. Kedua, orang jadi tau bahwa ada banyak cara untuk bisa unjuk diri. Mulai dari serius pake portofolio, pengalaman pribadi hingga cuma jual omongan. Mereka yang sungguh-sungguh tau biasanya nggak akan banyak omong. Buat mereka nggak penting untuk memperlihatkan punya apa hingga kenal siapa. Toh itu sudah berjalan dengan sendirinya. Jadi buat yang bisa omong besar, itu penting karena pada dasarnya bukan siapa-siapa. Nah, sakit nggak dibilang nobody? Ya nggak mau kan. Jadi jalan pintas cepat hemat adalah dengan markibul. Mari kita ngibul.
Kembali lagi kepada urusan pengakuan sosial. Semua pengen dibilang keren, sukses, cakep, pinter, tajir, punya banyak relasi, bisa ini itu dan sebagainya. Semua orang butuh diakui, tapi dengan cara yang berbeda mulai dari jujur dan diam, banyak bicara tanpa isi, berlebihan atau malah berbohong sama sekali. Pengakuan sosial bisa datang sendiri kayak jailangkung, atau malah dicari-cari kayak pesugihan. Tinggal pilih. Mau yang mana? Risiko sih tanggung masing-masing. Dah pada tua ini. Ntar malu pula dibilang cuma bisanya ngebacot.