Ini jaman serba teknologi. Katanya udah four point o or zero. Oleh karena kemajuan jaman seperti itu, perilaku masyarakat juga berubah. Apalagi dengan adanya medsos. Sepuluh tahun lalu, mungkin orang masih hanya pecicilan di Yahoo Messenger. Tentunya dengan kecepatan internet yang ala-ala 128Kbps di jaman itu sudah sedemikian cepat. Beda dengan 56Kpbs yang masih menggunakan modem disambung dengan telpon rumah yang leletnya minta ampun. Sekarang? 300 Mbps aja berasa kurang apalagi buat main game. Internet yang cepat saat ini ditambah pula dengan media sosial yang merambah kemana-mana. Segala sesuatu bisa jadi perbincangan atau pembahasan, meski ujungnya hanya gimmick atau trik marketing. Pergunjingan yang dulu hanya jadi konsumsi sekelompok orang, kini dengan mudah menyebar dan jadi bahan ghibah siapa saja yang berminat. media sosial macem Twitter, Tiktok dan Instagram jadi sarana buat memperlancar segala bentuk kampanye komunikasi. Kalo Facebook ya sudahlah, cuma maenan orang tua katanya.
Dengan berubahnya perilaku, tentu saja segala pameo yang dulu digadang-gadang jadi bahan kebijaksanaan sekarang jelas nggak berlaku lagi. Lihat saja seperti "air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan". Peribahasa semacam itu mau mengajarkan bahwa orang yang tau banyak tidak akan bicara banyak. Dengan sikap diam maka akan sulit ditebak seberapa dalam pengetahuan yang dimiliki. Dengan bersikap kalem macem tokai ngambang, maka "bicara itu perak, diam itu emas". Tapi itu dulu. Orang nggak perlu koar-koar maka akan dilihat sebagai sosok yang berisi pengetahuan dan bisa diandalkan kala dunia butuh jagoan.
Lantas bagaimana dengan sekarang? Justru dunia sudah terbalik. Mereka yang sering mengumbar segala hal di media sosial adalah orang yang dianggap pandai bersosialisasi, punya kemampuan sosial, menyenangkan, bisa jadi rujukan segala macam bahkan tercanggih dalam soal up date berbagai macam informasi. Ada saja bahan yang bisa dijadikan perbincangan bahkan pameran. Jika pun tidak, tinggal bikin settingan agar publik bisa selalu ingat. tentu saja ini menggunakan argumentum ad nauseam. Tinggal bohong sebesar, sesering dan sebanyak mungkin. Orang akan melihat itu sebagai sesuatu yang benar. Lihat saja gimmick artis A jadi pacaran atau berseteru dengan artis B. Apa saja akan dibahas. Mulai dari isi kolor sampai komentar tetangga. Semakin besar, sering dan banyak, publik awalnya mual. Makanya dikasih nama nauseam atau saluran nafas. Bikin eneg. Kesadaran bisa menolak, tapi bawah sadar tidak. Meski enggan mengingat, tapi kalo ditanya pasti tau tentang merek kolor si A sampe warna jigong si B. Kok bisa? Yaiyalah, emangnya bukan hape kagak ngintip juga itu medsosnya.
Tapi bagaimana dengan diam? Sudah pasti dianggap cupu, gaptek, kagak apdet, dan pastinya kelas loyang aluminium bukan perak apalagi emas. Dengan berdiam diri, maka boasanya ada beberapa reaksi yang muncul. Pertama gelisah karena Fear Of Missing Out alias FOMO atau panik kalo kudet. Model begini biasanya malah jadi kepo terhadap apa yang sedang dibicarakan di sekelilingnya. Ada juga yang kemudian jump in masuk dan ebrtanya meski cuka diolok-olok, lu kemana aja? Kemudian ada juga yang masa bodoh dan malah jadi males buka media sosial. Intinya ya tetep aja jadi lemot dan membagongkan. Nggak tau harus gimana, apalagi kalo giliran di tanya. Jangankan urusan artis si A atau si B, dengar namanya aja nggak pernah. Buat apa ngurusin sampe segitunya. Toh tidak efisien juga untuk memperkaya informasi dengan hal-hal pritil semacam itu. Benar juga kan?
“You learn the hard way. That’s the thing with social media. Nobody knows what they’re doing.” ~ Cameron Dallas
Itulah sebabnya meski peribahasa sudah terbalik, justru memperlihatkan bahwa realitas publik adalah seperti itu adanya. Mereka yang kebanyakan koar-koar di medsos adalah refleksi cermin terbalik dari dirinya. Bisa jadi yang biasa nulis status kata-kata cantik lagi butuh penguatan diri, yang demen pajang foto-foto liburan jadul lagi kepengen refreshing, yang demen pajang foto keluarga sebenarnya lagi pecah ribut di dalam. Apakah yang diam juga sama? Bisa jadi yang nggak posting apa-apa malah paling demen ngintip, sedang berusaha menyelesaikan masalahnya, atau justru nggak mau ketahuan apa yang busuk-busuk di dalam. Sama aja dong kalo gitu? Sebab diam bukan lagi emas, tapi cuma kuningan. Bicara bukan perak tapi plastikan. Maka udah paling aman tetap punya medsos, tapi nggak perlu juga semua diumbar. Paling banter ya yang bagus-bagus saja biar lu pada sirik. Tetap selektif pada ragam informasi karena nggak perlu juga masukin sampah ke pikiran. Meski pantun dan perilakunya juga sudah berubah, bukankah hidup hanya sandiwara?