Ini memang jaman kerja dari rumah alias Work From Home (WFH). Awalnya, bayangan orang pada umumnya tentang WFH adalah bisa leha-leha pake celana pendek, ngopi-ngopi, sambil multitasking ngerjain tugas domestik atau bahkan bisa ditinggal sebentar maen sepeda. Akan tetapi WFH ternyata tidak sesederhana itu. Berlama-lama di depan layar komputer juga bikin nggak fokus, mata lelah dan secara psikologis tidak membangun kedekatan alias engagement dengan lawan bicara seperti halnya pertemuan fisik. Apalagi kalo belum saling kenal. Maka hambatan-hambatan yang bersifat intangible atau tak terlihat itu memang harus disiasati lebih jauh.
Tentunya hal itu akan berkaitan dengan kinerja yang dihasilkan oleh setiap orang. Belum lama ini, sebuah perusahaan manajemen produktivitas membuat survei yang melibatkan 10.624 orang pekerja. Hasilnya, sebanyak 58% dari mereka menghabiskan waktu untuk melakukan koordinasi kerja ketimbang kerja itu sendiri. Seperempat dari yang disurvei juga mengatakan bahwa mereka terlalu banyak mengikuti meeting yang berdampak kepada penurunan produktivitas. Data yang sama juga ditunjukkan oleh Microsoft bahwa orang memang terlalu banyak mengikuti online meeting. Padahal dilihat dari penggunaan Microsoft Teams, ada waktu tertentu dimana orang bisa mencapai puncak produktivitas yakni antara sebelum dan sesudah makan siang, serta antara jam enam sore hingga 8 malam. Nah, pada sore menjelang malam ini justru di jaman sekarang orang dihajar dengan online meeting yang bertubi-tubi. Padahal dulu sebelum pandemi, orang masih bisa mengatur beban kerja dan waktu untuk bisa lebih fokus ketimbang saat ini yang bentar-bentar mitol; miting onlen.
Itu baru yang diungkap dengan Microsoft yang aplikasi online meetingnya nggak terlalu marak di Indonesia. Gimana dengan jum-juman? Bisa jadi angka yang didapat bisa lebih besar. Bisa jadi pula ada banyak siasat untuk menghindar dari pertemuan-pertemuan yang dianggap tidak perlu. Mulai dari yang konvensional seperti ijin ada keperluan lain, selalu terlambat, berlagak sibuk disandera kegiatan berbeda, gangguan jaringan, susah sinyal, putus-putus, habis paketan data, sampai yang agak canggihan dikit seperti pasang latar hitam dengan mengganti nama menjadi "reconnecting...". Dipaksa untuk menjadi tidak produktif, tapi tetap kreatif dengan bersifat lebih tidak produktif. Keren kan?
Hal tersebut masih ditambah kecenderungan secara kultural orang Indonesia demen ngobrol bahkan untuk hal-hal yang nggak penting. Mau kerja atau berorganisasi, sama saja. Akan ada ruang buat ghibah, gosip, mimpi, khayal, yang kemudian berakhir dengan "kembali ke laptop". Miting-miting rutin tanpa agenda yang jelas kemudian hanya jadi cost, buang waktu dan kemudian membosankan. Apalagi jika tidak ada ulasan, evaluasi, kritik, timeline management, bahkan juga update atau upgrade yang jelas. Agenda ya tinggal jalan abis itu kelimpungan mikir mau apa lagi. Kalo kehabisan ide, korek sampah lama pun jadi biar dibilang ada isi. Apalagi acara webinar-webinaran; berpotensi jadi panggung narsistik juga dimana orang berebut ngomong dan berkomentar.
Itu juga baru organisasi setingkat warung kopi, bagaimana dengan yang lebih serius seperti kerja profesional? Godaan semacam itu akan tetap ada. Cara untuk mengatasinya sih jelas; membangun komunikasi personal, perencanaan dan evaluasi yang lebih baik, serta utamanya membuat pengelolaan waktu dan beban kerja secara lebih terukur. Miting-miting sih memang diperlukan, baik untuk koordinasi dan taktis. Akan tetapi ada waktunya pula orang harus menyelesaikan tugas dan menunggu evaluasi, ketimbang melakukan pemantauan yang terlalu intensif untuk mengukur kemajuan dengan penggunaan teknologi. Yah, namanya juga masih ada rasa-rasa kagoknya lah. Dulu biasa maen tanah, sekarang maen laptop.
“Ugh… this meeting is a complete waste of time… Oh crap! You guys can hear me?" ~Person that is probably looking for a new job right about now
Jadi seberapa produktif orang didalam kerja, tidaklah berbanding lurus dengan intensifikasi percakapan atau pertemuan yang rutin dilakukan. Mengukur perkembangan kinerja dan pencapaian agenda dengan sekian banyak online meeting juga percuma dan inefektif. Padahal mengelola produktivitas yang sesungguhnya adalah kembali lagi ke level person, bukan organisasi atau kerja secara keseluruhan. Seberapa kuat kapasitas dan kapabilitasnya, kembali lagi mulai dari awal. Namanya juga niat buat kerja kan? Koordinasi nggak harus selalu lewat mitol kok. Kalo beneran nggak ada kerjanya, itu laen cerita. Nggak usah dimitingin, orang juga tau ente ngemeng doang. Parah itu.