Banyak orang bertanya, sebenarnya multi genre itu apa sih? Apakah semacam cara berpikir, berkegiatan atau beraktivitas yang serba bisa? Tentu saja bukan. Multi genre adalah melakukan satu kegiatan, seperti halnya menulis tetapi bisa menggapai banyak perspektif, sudut pandang, pokok bahasan dan analisis yang sangat beragam. Jadi multi genre bukan gado-gado, bukan pula campur sana sini. Kalo gado-gado sih sudah pasti enak. Bayangkan jika sebuah tulisan dicampur antara fiksi, non fiksi, sejarah, psikologi, dan lainnya jadi satu. pasti bikin bikin mual yang baca.
Menulis multi genre juga dilandasi oleh kegiatan berpikir yang sangat intensif baik logis hingga kreatif. Umumnya, kegiatan berpikir dibagi dua berdasarkan cakupannya yakni berpikir konseptual dan berpikir faktual. Berpikir konseptual adalah melihat gambaran besar, the big picture. Jadi membayangkan narasi secara keseluruhan, terbuka dan kemudian menjadi sebuah bentuk kompleks yang meluas. Semacam berpikir secara strategislah kira-kira. Berpikir faktual adalah turunan dari konseptual, yang menyangkut sitausi nyata seperti fakta, data, angka, dan hal prital pritil yang dikumpulkan menjadi satu. Berpikir faktual adalah menyangkut soal detail dan bersifat taktis.
Oleh karena itu, berpikir konseptual adalah kerangka besar. Tulang belulang yang kemudian menandakan bahwa itu adalah misalnya seorang manusia. Akan tetapi, manusia tidak cukup memiliki definisi hanya tulang saja kan? Itu namanya jerangkong. Jadi harus ada dagingnya, ada pengayaannya, ada kekuatan yang sanggup membuat tulang itu berdiri. Maka dibutuhkan seonggok daging. Itulah yang disebut dengan kondisi dari berpikir faktual. Bayangkan sebaliknya, jika hanya berpikir faktual saja. Apa iya setumpuk daging bisa disebut manusia? Juga tidak. Maka antara berpikir konseptual dan faktual, seperti halnya analisis kuantitatif dan kualitatif di dalam riset juga menjadi sangat penting digunakan keduanya. Tidak ada yang satu lebih baik dari yang lain.
Masalahnya, tidak semua orang memahami bagaimana menggunakan keduanya termasuk mereka yang merasa paling cerdas sekalipun. Berpikir konseptual mungkin adalah biasa bagi orang yang belajar filsafat. Biasa melihat gambaran besar, biasa menganalisis berdasarkan teori, menjelaskan dengan definisi dan kategori. Akan tetapi mereka bisa gagap ketika diminta untuk membumikan konsep menjadi rumusan berdasarkan fakta. Diminta untuk menjelaskan secara teknis bagaimana operasionalisasi sebuah konsep? Omong data? Cegukan ntar. Sebab tekhne dianggap nggak penting kan? Sebaliknya, mereka yang terbiasa dengan teknis dan taktis, belum tentu juga bisa melihat gambaran besar, belum tentu juga melihat fungsi dan analisis yang lebih dalam karena sibuk dengan keluasan. Satu tambah satu sudah pasti dua, so what kalo gitu? Penjualan di sebuah wilayah menurut hingga 80% berdasarkan data, lantas apa? Analoginya persis seperti orang diminta untuk bikin dan menjual nasi goreng yang enak. Mengandalkan berpikir konseptual saja, ujungnya malah bikin artikel pengantar ilmu marketing nasi goreng, bukan malah membuat nasi goreng. Berpikir faktual saja, bisa bikin nasi goreng enak, tapi nggak paham kenapa harga bahan terus naik dan berapa harus dijual.
Jadi kedua cara berpikir itu dibutuhkan secara berimbang agar orang tidak pakai kacamata kuda, tidak gampang punya prejudice, tidak pula tergesa-gesa untuk puas dan mampu melihat sebuah persoalan dari berbagai sudut pandang. Sulit? Ya pasti. Sebab jangankan make keduanya, make salah satu saja dengan kepedean bisa berpotensi menjadi delusional, merasa jadi problem solver, ujungnya mikir mbulet nggak karuan dan nambah masalah. Padahal masalah yang ada masih menunggu untuk dipecahkan. Kasian emang.
Itulah sebabnya multi genre gampang-gampang susah. Bukan lagi perkara menggunakan ragam cara berpikir atau melihat masalah tetapi juga secara dewasa memperbaiki terus menerus, merevisi dan mengkalibrasi kemampuan yang ada baik melihat kerangka besar maupun penguasaan data secara faktual. Selain itu, masak nasi goreng lebih menantang dari gado-gado. Percaya kan?