Apakah orang cerdas itu minim empati? Sebaliknya, apakah orang yang medioker eh rata-rata itu malah peduli dengan orang lain? Antara empati dan kecerdasan seringkali dianggap berlawanan. Mereka yang pinter-pinter itu dianggap semakin pinter, semakin eksentrik dan semakin masa bodo. Justru yang sedang-sedang aja dianggap punya empati karena ramah, murah senyum dan dipandang agak ketulul-tululan.
Opini semacam itu sebenarnya tidak tepat. Howard Gardner, seorang psikolog dan pendidik menyatakan dalam Theory of Multiple Intelligences bahwa seseorang bisa menjadi cerdas di dalam olah logis matematis, tetapi tidak meningkatkan kecerdasan interpersonal seketika. Meski demikian, kerja otak dapat terhubung dengan berbagai cara sehingga kecerdasan di satu ruang atau bidang dapat terhubung dengan kecerdasan di bidang lain. Misalnya, orang yang menghabiskan waktu untuk meningkatkan kecerdasan tubuh kinestetisnya, dapat berdampak kepada kecerdasan visual spasial. Misalnya, olahraga bela diri dapat meningkatkan reflek dan pengamatan secara cepat terhadap kemungkinan pukulan serangan. Hal yang sama juga terjadi di dalam ruang kecerdasan lain yang berkaitan dengan kemampuan interpersonal. Maka tidak mengherankan bahwa kinerja otak itu tidak mudah ditebak, berbeda-beda dan sangat aneh. Misalnya saja, ada orang yang mengidap synesthesia, yakni mampu mendengarkan suara dalam warna-warna yang tampil secara visual. Aneh kan?
Empati sendiri berada dalam ruang atau wilayah kecerdasan interpersonal. Orang bilang itu berkaitan dengan EQ, Emotional Quotient. Meningkatkan kecerdasan logis matematis pada hakekatnya adalah berdampak kepada naiknya empati. Dengan kata lain, orang yang bersangkutan tahu untuk bagaimana bisa merasakan perasaan orang lain, tahu untuk bisa berinteraksi, tahu untuk berterimakasih, tahu untuk membalas budi, tahu untuk bersosialisasi. Tidak ada orang yang cukup buta terhadap situasi orang lain. Itu hanya perkara kebiasaan yang kemudian berkembang menjadi karakter.
Empati itulah yang jadi barang mahal, sebab mereka yang merasa pintar yang belum tentu memilikinya.
Nah, apakah cukup tahu saja? Sebab dengan kecerdasan seperti apapun, empati bisa bertumbuh atau tetap tetapi tidak pernah berkurang. Jadi kecerdasan itu justru memberi ruang pada empati, tinggal perkara orangnya apakah mau menggunakan pengetahuan yang sudah ada itu untuk kemudian memperkaya karakternya melalui interaksi dengan orang lain. Jika ada orang yang katanya cerdas tapi miskin empati, maka pertanyakanlah bagaimana pola pengasuhan, pendidikan, kebiasaan, sehingga karakter yang muncul adalah sosok yang sinis, kejam, egois, manja, seenaknya, tidak tahu berterimakasih, malas beretiket, atau bahkan menjadi seorang oportunis sejati? Berarti dia nggak pinter-pinter amat. Semakin cerdas seseorang, akan semakin mampu menumbuhkan empati. Empati itulah yang jadi barang mahal, sebab mereka yang merasa pintar yang belum tentu memilikinya. Dengan kata lain mereka yang miskin empati, miskin pula kepasitas berpikir. Kelihatan itu.