Kalo bicara soal miskin atau poverty dalam konteks terkecil adalah soal kepemilikan. Sesederhana itu. Beda dengan kemiskinan dalam arti luas soal pendapatan per kapita atau berkaitan dengan indeks kesejahteraan sebuah negara. Miskin dalam pengertian tentang kepemilikan adalah soal ketidakmampuan untuk mengakses, menikmati atau memperoleh sesuatu yang idealnya sudah jamak atau lumrah dimiliki banyak orang. Kepemilikan ini bisa macem-macem, mulai dari benda seperti bahan pangan, sandang hingga non benda seperti pendidikan formal.
Dengan demikian, miskin adalah sebuah kondisi yang harus diperbaiki atau mendapat improvement sehingga taraf hidup bisa meningkat. Kondisi semacam ini bisa terjadi kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Entah karena krisis berupa resesi, inflasi, perang, wabah, bencana alam atau keputusan personal yang keliru, maka akan selalu ada orang yang punya potensi untuk turun kelas baik secara sosial maupun ekonomi. Selain itu, ukuran kemiskinan secara nilai benda sebenarnya bersifat relatif. Misalnya ada yang menggunakan mata uang tertentu dan negara tertentu. Jika di negara kaya, seseorang dengan penghasilan US 10 Dollar sehari sudah pasti dibilang miskin. Tapi di sini, terutama di pelosok dengan nilai yang sama sekitar 140 ribu rupiah perhari lebih, atau sekitar empat juta lebih per bulan sudah jadi sesuatu.
Oleh karena itu miskin dalam hal kepemilikan adalah juga bersifat relatif. Tidak ada pembedaan yang secara siginifikan dalam meihat kepemilikan. Ada orang yang sudah puas dengan menggunakan kendaraan berumur dengan biaya perawatan minimal sehingga pengeluaran bisa ditekan. Ada juga orang yang senang dengan mobil baru, biaya perawatan maksimal dan masih bisa masuk hitungan dengan rasio pendapatannya. Ada juga orang yang punya aset kendaraan, tidak pernah dirawat bahkan dicuci, dibiarkan begitu saja dan jelas nilainya menyusut tanpa pernah dinikmati. Itulah sebabnya dalam konteks itu, kemiskinan bukan lagi soal kemilikan tapi mental, yakni sikap bagaimana memperlakukan aset berbanding dgan pendapatan dan pengeluaran dalam ranah pola pikir.
Mentalitas miskin atau poor mentality bisa menjangkiti siapa saja, baik yang punya harta maupun tidak. Baik yang berduit atau bokek, punya aset atau kempes ya sama saja. Jangan keliru, banyak orang kaya pun juga punya mental miskin. Semisal menawar sadis kepada tukang kerupuk atau beli sayur di warung, tapi terdiam manggut manggut hiya ho'oh saat sales ponsel nawarin beli seri flagship berikut dengan earset dan aksesoris lainnya. Di satu sisi, ada kemampuan nawar atau bargain dan haggling yang dilakukan tidak pada tempatnya. Di sisi lain, menjadi boros gegara beli barang yang nggak perlu-perlu amat. Bagaimana dengan yang nggak kaya-kaya amat? Sama saja. Ada yang gemar menghabiskan uang untuk beli sepeda hingga kamera dengan alasan hobi, tapi juga tidak memaksimalisasi dengan baik. Paling banter tiga bulan dipake kemudian dibiarkan teronggok di pojokan. Atau merasa harus upgrade atau up to date dengan selalu beli baru. Ini berlaku bukan saja barang-barang elektronik yang relatif mahal tapi juga urusan sandang bahkan pangan. Beli baju branded agar selalu kelihatan keren, kalo perlu dalam jumlah banyak. Tapi sama sekali tidak menghiraukan kaki yang sepatunya tetap saja buluk. Atau beli skincare perawatan wajah mahal biar nanti jadi putih kinclong. Iya sih di muka, tapi leher, sikut dan lututnya tetap orisinal coklat kebiruan. Dalam kebutuhan mendasar seperti makan minum juga gitu. Berasa harus makan siang enak setiap hari di resto. Mungkin terinspirasi dengan ramenya temen-temen di kantor begitu setiap waktu istirahat kerja, atau menganggap itu jadi pelepasan penat. Sesekali ya gapapa, tapi kalo tiap hari coba saja hitung berapa biaya yang dikeluarkan berbanding pendapatan? Jelas nggak berasa karena gesek terus.
Kenapa bisa gitu? Mentalitas miskin semacam itu biasanya disebabkan sikap ikut-ikutan, kalo nggak nanti kudet. Maka Fear of Missing Out atau FOMO memagang faktor penting juga dalam hiruk pikuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok untuk berpikir jangan sampai ketinggalan. Ada juga yang disebabkan kurangnya exposure atau wawasan dalam menimbang pilihan berikut dengan ego atau gengsi yang terlalu besar. Istilahnya, minderan kalo sampe dibilang nggak keren, nggak ngetop atau jadul. Ujungnya karena sadar dirinya nggak mampu-mampu amat, jadi malah demen nebeng nadah tangan. Minta dibayarin dijajanin. Sementara ya berduit karena mentalnya tetep miskin ya jadi pelit perhitungan. Berpikir kalo dengan menghemat demikian bakal efisien. Ya kagaklah. Itu sama kayak orang nolak bayar ikutan acara seperti bazaar karna takut dagangannya nggak laku. Yaelah mbang, namanya bazaar itu ajang promosi pengenalan barang. Kalo mau laku ya buka lapak aja di pasar kan?
“To rise out of poverty you must change your way of thinking. You can’t live in abundance with impoverished thoughts.” ~ Germany Kent
Jadi kalo belum punya uang, jangan takut dibilang miskin. Sudah berduit sekalipun, orang masih bisa miskin. Seperti dikatakan jika miskin itu relatif, maka mentalitas miskin itu absolut. Bisa terjadi pada siapa saja secara lebih merata. Kalo dah terjangkit bakal susah sembuh dan pastinya merugikan orang lain. Ada yang pura-pura miskin sampai pelit, ada yang berlagak kaya hingga royal kemana-mana. Pengen beli murah melulu biar dibilang hemat padahal yang dibeli murah cepet rusak. Ada juga yang demen borong barang mahal tapi ngutang. Ujungnya biaya yang dikeluarkan secara total malah lebih besar lagi. Nggak bisa bedain mana cost, mana investment. Sama seperti nongkrong-nongkrong cantik ngopi makan di kafe resto. Dia nggak tau kalo ada sekelompok orang yang rutin ke situ karena negosiasi dengan klien, presentasi marketing, atau persuasi calon pembeli dan semua itu dibayarin kantor. Ya bakal tekorlah kalo kesitu tiap hari dan nggak produktif. Keduanya memang jadi menyebalkan sih. Semoga situ jangan ikut-ikutan deh ya.