Seringkali orang tidak dapat membedakan antara moralitas dengan etika, atau sederhanakanlah dengan sebutan berupa tindakan etis. Moralitas itu lebih pribadi dan subyektif, sebagai sekumpulan nilai, keyakinan dan prinsip yang dianut oleh individu atau kelompok. Sumber moral berupa dari agama, budaya atau pengalaman pribadi. Etika lebih bersifat universal dan obyektif, berupa tindakan benar dan salah, baik atau buruk. Etika berusaha mencari prinsip moral yang berperilaku umum dan dapat dibenarkan secara rasional. Maka, apapun agama, budaya atau pengalaman pribadimu yang membentuk moralmu, tetap ada prinsip etis di atasnya.
Lantas mengapa orang lebih peduli pada moralitas dan mengabaikan tindakan etis? Sebab ada keterikatan emosional dimana manusia lebih peduli kepada hal yang menyentuh secara pribadi seperti kesetiaan, keadilan dan kasih sayang. Ada juga pengaruh agama dan budaya yang berwujud dalam lingkungan sosial dan diajarkan sejak dini. Moral bersifat relatif antar kelompok sehingga lebih mudah dipahami dan diidentifikasi. Moral juga punya wujud kongkret yang bisa diamati seperti berbuat baik, menolong sesama dan menghindari berbuat jahat.
Aspek etis kerap diabaikan karena seringkali melibatkan pemikiran yang lebih kritis dan rasional. Masalah-masalah etis seringkali tidak memiliki jawaban pasti, abstrak dan sulit divisualisasi sehingga kurang menarik. Etika juga seringkali melibatkan konflik antar nilai yang berbeda, misalnya kepentingan individu dan kepentingan umum. Belum lagi tekanan sosial dan budaya seringkali mendorong kita untuk lebih mementingkan moralitas yang berlaku di lingkungan, daripada mempertanyakan dasar-dasar etis
dari tindakan kita.
"Morality without ethics is like a compass without a map; it can point you in the right direction, but it won't tell you how to get there." ~FRS
Misal nih ya, ada pengusaha yang menyumbang sebagian keuntungan bisnisnya untuk amal. Publik bakal mengapresiasi tindakan ini secara moral dianggap baik karena menunjukkan kepedulian terhadap sesama. Tapi dari sudut pandang etis, tentu saja ada pertanyakan apakah tindakan ini semata-mata didorong oleh motivasi yang tuluskah? Ingin dapet keringanan pajak? Atau hanya untuk mendapat citra positif di mata publik? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap diabaikan karena dianggap ‘menganggu niat baik seseorang’.
Nggak heran jika selanjutnya fenomena itu berlanjut kepada flexing, apalagi di media sosial. Ada banyak pencapaian yang tidak otentik dimana orang cenderung membesar-besarkan pencapaian mereka baik
material maupun material. Misal ngedit foto diri dan liburan biar kelihatan bagus ganteng cantik mewah atau memajang gelar pendidikan yang tidak dimiliki. Ada juga pamer yang dilakukan untuk mendapat validasi sosial dengan kepemilikian, penampilan dan gaya mewah untuk mendapat persetujuan dari orang
lain.
Ditambah lagi merendahkan orang yang dianggap kurang beruntung, konsumerisme bahkan nilai kemanusiaan dan melanggar hukum. Pamer hasil curian atau tindak kekerasan misalnya.
Etiskah itu semua? Jelas kagak. Tapi dalam ruang bahasan moralitas, masih saja ada pembenaran. “Namanya juga anak penguasa, ya boleh-boleh saja kan”. Nah!