Om Awighnam astu namo sidham. Om sidhi rastu tad astu swaha.
Di dalam Hindu Bali terdapat istilah ngayah, yang berasal dari kata ayah dan secara literal berarti kerja, tugas atau kewajiban. Ngayah dalam pemahaman kontekstual adalah melakukan pelayanan sukarela, tanpa pamrih apapun tidak saja kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa tetapi juga adat istiadat atau tradisi, masyarakat dan alam semesta khususnya dalam kegiatan keagamaan. Contoh ngayah adalah membantu menyiapkan upakara di pura seperti ngewentenin banten, menghias dan membuat penjor serta lainnya, mebersih, mekidung, menari dan kerja fisik saat ada piodalan dan lainnya.
Secara prinsip ngayah adalah tulus ikhlas, bukan karena imbalan melainkan sebagai wujud bakti dan dharma. Meski demikian ada perbedaan antara ngayah di Bali dan di luar Bali. Dalam perspektif sosial, di Bali komunitas adat sangat kuat sehingga ngayah menjadi kewajiban tersendiri; bisa menjadi sangat rutin dan ada tekanan sosial dari sisi adat dan normal bila tidak ikut. Di luar Bali, komunitas yang terlibat terdiri dari beragam latar yang tidak saja orang Bali. Aktivitas di luar kegiatan keagamaan dan ritual juga punya porsi yang berbeda sehingga ngayah menjadi lebih fleksibel. Tekanan sosial juga tidak sebesar di Bali.
Khususnya di luar Bali, ngayah juga bukan sekedar membuat budaya hidup dari generasi ke generasi, tetapi juga membangun solidaritas sosial. Komunitas yang beragam itu menjadi bisa lebih akrab dan kuat karena kerja bersama tanpa pamrih. Dalam ruang spiritual, ngayah juga mengajarkan rendah hati, tulus dan tanpa pamrih. Kerelaan personal jadu lebih menjadi dedikasi ketimbang. Akan tetapi, kekurangannya juga banyak. Pertama, bagi yang hidup di kota besar atau sibuk bekerja, ngayah dianggap menguras waktu, tenaga dan kadang uang. Kedua, meski disebut sukarela, ada saja orang yang merasa terpaksa karena takut dikucilkan sehingga beberapa orang yang merasa masih punya kewajiban di kampung halaman di Bali berpikir untuk tidak serius, sekedar hadir atau malah tidak ikut dalam mebanjar dan ngayah di luar Bali. Ketiga, ada kecenderungan ketidakadilan sosial dimana kelompok yang secara sosial ekonomi lebih rendah akan lebih banyak ngayah, ketimbang yang berpengaruh dan bisa menyumbang agar tidak turun langsung. Fenomena seperti ini membuat mereka yang baru di perantauan dan masih berjuang, akan berpikir ulang untuk mengulang aktivitas yang sama seperti di kampung halaman. Keempat, generasi mudah yang lebuh menghargai efisiensi, uang dan waktu pribadi sering merasa ngayah tidak relevan dan tidak seimbang dengan dunia kerja modern. Kelima, oleh karena faktor komersialisasi budaya maka ada kekkhawatiran bahwa ngayah berubah fungsi dari tulis spiritual menjadi sekedar event sosial, pamer status di media sosial dan unsur monetisasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam ruang tradisional.
Ini diperburuk oleh adanya persepsi bahwa beberapa kegiatan ngayah seperti menari tarian Rejang atau yang lainnya dianggap membuat leteh, kotor fisik dan spiritual. Akibatnya timbul ura; energi negatif, kekacauan, ketidakseimbangan alam makrokosmos dan mikrokosmos akibar pelanggaran tatanan suci. Beberapa pura di Jakarta dan sekitarnya memandang ini sebagai persoalan serius, sehingga membatasi ibu-ibu warga untuk menari di utamaning mandala pura, dan menganggap tari seperti Rejang dan lainnya dalam kategori hiburan.
Apakah benar demikian? Pertama, dalam Konvensi Komite Antar Pemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang diselenggarakan pada 29 November-4 Desember 2015, UNESCO mengakui tiga genre tarian tradisional Bali, Indonesia, sebagai Warisan Budaya Tak Benda, yaitu Tari Wali, Tari Bebali, dan Tari Balih-Balihan. Tari Wali atau bisa disebut juga sebagai tari sakral merupakan tarian yang muncul sejak abad 8 - 14 Masehi. Tari Wali dipentaskan saat adanya upacara keagamaan umat Hindu di Bali. Tari Wali dipertunjukkan di halaman utama pura. sehingga tarian ini tidak bisa sembarang dilakukan dan dipertunjukkan. Contohnya tari Baris, Rejang, Sanghyang Dedari. Sedangkan tari Bebali adalah tari semi sakral dan dipertunjukkan di madya mandala atau halaman tengah pura, dibalut dengan hiburan atau memiliki makna sakral tersendiri seperti tari Wayang Wong, Gambuh dan topeng Dalem Sidakarya. Tari Balih-balihan adalah yang bersifat hiburan dan dipentaskan di luar pura seperti Kecak, Janger dan Joged.
Kedua, perumusan tersebut diperkuat terakhir pada tahun 2019 oleh Keputusan Bersama tentang Penguatan dan Pelindungan Tari Sakral Bali yang ditandatangani oleh Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana M.Si, Bendesa AgungMajelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, Ketua Umum Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA) Provinsi Bali Prof. Dr. I Made Bandem, MA, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dr. I Wayan Adnyana, S.Sn., M.Sn, dan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum., serta disaksikan oleh Gubernur Bali Wayan Koster dan Sekretari Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra. Penguatan tari sakral tersebut meliputi tari Rejang, Sanghyang, Baris Gede, Wayang Lemah, Topeng Sidakarya dengan total 127 tarian dan bisa bertambah di kemudian hari.
Maka tari suci seperti Rejang ~apapun jenisnya, dilakukan sebagai bagian integral dari yadnya atau persembahan, penghantar dewata. "Ngigel ring Sang Hyang, ngiring Sang Hyang nuntun ring pawintenan." Menari di hadapan Sang Pencipta, mengiring dan menuntun kehadiran Sang Hyang dalam upacara penyucian. Di satu sisi, sebagai tarian sakral tentu tari Rejang memang memiliki ruang tersendiri dalam peranannya di setiap upakara besar. Akan tetapi di sisi lain, untuk penari juga menjadi tersadar bahwa ada tanggung jawab besar lebih dari sekedar konsep tentang ngayah atau sukarela untuk menari.
Penari tentu saja harus mengikuti dresta yang ada untuk tidak melakukan aktivitas menari dalam kondisi leteh seperti habis haid, luka berat, marah besar atau berduka. Jadi pemahaman leteh itu adalah bagaimana subyek pelaku, bukan tarian itu sendiri. Sebab dengan menjadi leteh, maka energi upakara akan keruh, dewa dewi enggan hadir dan upakara bisa kehilangan kesakralannya. “Yening ana wong leteh lumebet ring yajnā, sami ngrasuk ura ring jagat.” Jika ada orang leteh memasuki upacara suci, maka kekacauan akan menyebar ke dunia.
Selain menjaga kesucian tubuh, maka kesucian pikir dan mental juga diperlukan. Ngayah bukanlah sekedar asal ikut dan sumbang kemampuan, tetapi tidak pernah melakukan sinkronisasi seperti latihan dan proses untuk menjadikannya lebih baik. Maka kegiatan seperti pewintenan, panglukatan dan penyucian lahir batin sangatlah dianjurkan sebelum menari. Apalagi jika dilakukan tanpa memikirkan semangat kolektif, maka ego lah yang berbicara untuk kepantasan diri dan tidak memikirkan bahwa apa yang dilakukan adalah bersifat sakral. Dengan menjunjung semangat bersama, maka setiap kegiatan akan memiliki pintu untuk saling mengingatkan mana yang sudah tepat dan belum tepat untuk dilakukan. Misalnya, menari tanpa membelakangi padmasana, mengambil posisi sesuai peran masing-masing, meniadakan nafsu ingin dilihat dan tampil sebagai unjuk kemampuan, serta menyadari bahwa tujuan akhir adalah persembahan suci, bukan pamer diri. Itulah ngayah sesungguhnya. Swaha. (end)