Dalam sehari-hari, kita kenal istilah "safety player" atau pencari aman dan "risk taker" atau pengambil risiko. Orang yang cari aman dianggap enggan berhadapan dengan masalah, sedangkan pencari risiko demen cari masalah. Sederhananya begitu,. Tapi dalam konteks yang lebih serius misalnya di dunia bisnis, cari aman atau ambil risiko dikaitkan dengan bagaimana pelaku usaha, tim kerja, atau perusahaan membuat keputusan, mengelola kemungkinan baik atau buruk, serta mengejar peluang. Tentu saja ada kelebihan maupun kekurangan dari kedua cara tersebut, tergantung pada situasi, tujuan jangka pendek maupun jangka panjang yang bersangkutan. Jika dicermati, keduanya adalah sama dalam tujuan misalnya untuk mencapai kesuksesan atau profitabilitas di dalam bisnis. Mau tidak mau keduanya juga harus mengambil keputusan berdasarkan informasi yang tersedia, meski pendekatan dan pertimbangan risiko yang dilakukan bisa jauh berbeda.
Lantas apa bedanya? Bagi para pencari aman, mereka cenderung untuk meminimalisasi bahkan menghindari risiko. Keputusan yang dibuat bersifat lebih konservatif. Oleh karenanya ada kecenderungan pula untuk kurang bereksperimen dengan ide-ide baru atau pendekatan yang belum teruji karena takut dengan kegagalan. Konsekuensinya, mereka mungkin lebih lambat dalam beradaptasi karena cenderung pula untuk mempertahankan status quo.
Sebaliknya, para pengambil risiko lebih bersedia mengambil peluang yang dihitung untuk potensi reward yang lebih tinggi. Dalam hal ini risiko jelas dilihat sebagai peluang. Mereka cenderung lebih inovatif dan kreatif, siap untuk mencoba hal-hal baru dan tidak takur gagal. Selain itu, ada kemungkinan besar mereka lebih cepat beradaptasi dengan perubahan serta mampu memanfaatkan situasi yang terus berubah sebagai sebuah kesempatan.
“You can't outwit fate by standing on the sidelines placing little sidebets about the outcome of life. either you wade in and risk everything you have to play the game or you don't play at all. and if u don't play u can't win.” ~Judith McNaught, Paradise.
Tentu saja sampai di sini ada pertanyaan, manakah yang lebih unggul? Sebenarnya tidak ada jawaban definitif karena keunggulan satu terhadap yang lain tergantu pada banyak faktor, misalnya jenis industri, kondisi pasar, fase bisnis dan sebagainya. Misalnya saja, dalam dunia perbankan yang merupakan high regulated industry, bermain aman dengan comply terhadap regulasi adalah pilihan terbaik. Sementara dalam bisnis lain yang kompetitif, di mana marketing dituntut untuk berperan lebih agresif maka pengambilan risiko memainkan peran lebih banyak.
Dengan demikian, baik pencari aman maupun pengambil risiko memiliki perannya masing-masing. Dalam situasi yang membutuhkan kestabilan dan kehati-hatian, misalnya kondisi sosial ekonomi bahkan politik yang tidak stabil,. maka bermain aman mungkin lebih disukai. Tapi ketika dalam habitat atau cakupan industri yang berubah dengan cepat, sangat kompetitif misalnya situasi pasca pandemi dan banyak shifting yang mendadak, maka pengambilan risiko menjadi diperlukan. Misalnya dalam dunia teknologi informasi, start-up dan sejenis di mana ada tuntutan kemampuan untuk berinovasi terus menerus dan beradaptasi sesegera mungkin.
Atas dasar itu, banyak perusahaan seringkali membutuhkan kombinasi dari keduanya untuk mengejar mencapai keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan, mengelola risiko sambil mengejar peluang. Sebab adakalanya juga perusahaan yang terbiasa stabil dan konservatif harus juga berinovasi. Atau malah mereka yang kesehariannya mengejar risiko, juga harus mampu menahan diri. Keputusan tentang pendekatan mana yang lebih baik seringkali didasarkan pada strategi dan tujuan spesifik dari bisnis tersebut.
Sama saja jika konteks di atas kemudian diturunkan lagi dalam level organisasi hingga terkecil seperti individu. Kapankah kita berani mengambil risiko untuk sebuah kemajuan, atau kapankah kita harus berdiam diri dulu menunggu kesempatan yang lebih baik? Maka sudah pasti orang harus punya strategi dan tujuan hidup atau purpose dari dirinya. Kalo nggak, ya melayang aja ntar.***