Kecerdasan adalah seringkali memiliki rumusan yakni kemampuan seseorang untuk melakukan abstraksi atau gambaran, bernalar untuk memahami, mempelajari, merencanakan dan menyelesaikan persoalan baik secara kritis maupun kreatif. Kecerdasan juga merupakan kemampuan untuk menerima informasi, mengolahnya menjadi pengetahuan dan menerapkan melalui perilaku di dalam sebuah lingkungan atau konteks yang bersangkutan. Oleh karena itu kecerdasan dikaitkan dengan kemampuan kognitif atau berpikir. Ada juga kecerdasan emosional yang berkaitan dengan empati, pengelolaan perasaan, tanggung jawab dan sejenisnya. Selain itu muncul kecerdasan spriritual yang dikaitkan dengan soal visi, pandangan dan jalan hidup bahkan urusan nilai moral keagamaan.
Kecerdasan kognitif atau intelektual biasanya bisa dilakukan penilaian kategoris yang bersifat kuantitatif. Dengan kata lain, ada tes yang bisa dilakukan dengan angka sehingga seseorang bisa dinilai apakah dia jenius, superior, medioker, moron, imbesil atau idiot. Sedangkan kecerdasan emosional lebih bersifat kualitatif yakni dengan penilaian berdasarkan pengamatan terhadap empati dan tanggung jawab sosial Kecerdasan spiritual? meski terkesan pseudo-sciences alias cocoklogi, tapi orang demen membahas ini karena dikaitkan dengan sifat relijiyes. Padahal nggak ada hubungannya. Orang beriman atau tidak beriman, nggak ada korelasinya antara agama dengan spiritualitas. Menilainya juga nggak mudah. Cocoklogi yang sama juga berlaku dengan konsep otak kiri atau kanan, bahkan kecerdasan spiritualitas dianggap menggabungkan keduanya. Emangnya pernah ada gitu bahwa mikir itu pake otak sebelah kiri? atau berempati dan seni memanfaatkan otak kanan secara harfiah? Nggak ada.
Tapi kenapa kecerdasan intelektual jadi penting? Indeks yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa hal tersebut bukan saja soal kemampuan individu atau urusan personal, tetapi juga memberikan potret bagaimana sebuah bangsa atau masyarakat suatu negara dalam menyikapi masal yang muncul. Misalnya saja dalam penelitian yang berlangsung antara tahun 1990 hingga 2010, Indonesia berada di urutan ke-68 dari 108 negara dengan indeks IQ 84. Pada penelitian yang berbeda di tahun 2022, Indonesia berada di urutan ke-130 dari 199 negara dengan indeks IQ 78,94. Lima posisi tertinggi biasanya adalah China, Taiwan, Korea Selatan, Singura dan Jepang. Terendah adalah negara-negaraterkecil yang jarang dikenal di peta.
Terus dengan hasil segitu apa maksudnya? Memang sih Endonesah jadi kelihatan medioker banget. Biasa-biasa bahkan kalo mau bilang terlalu biasa atau o'on ntar situ ngamuk lagi. Di satu sisi memang indeks semacam itu memperlihatkan bahwa kemampuan kognitif untuk bisa memecahkan masalah boleh dibilang tidak secanggih kelima negara yang disebutkan. Lihat saja bagaimana reaksi publik terhadap isu-isu yang munc di media dari berbagai perspektif seperti sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Ada hal yang dianggap sentitit, maka orang cenderung mulai menghakimi tapi sekaligus juga melakukan pembiaran. Contoh gampangnya kayak isu LGBTQ dan pedofilia kan? Kematangan berpikir secara rasional, logis dan terukur kerap dicurigai sebagai bagian dan konspirasi untuk menganggu keyakinan. Dikit-dikit uruan relijiyesitas yang dikedepanin, tapi sekalinya butuh penalaran ya susah amat berjalan.
Tapi d sisi lain juga ada banyak faktor eksternal yang memperlihatkan mengapa dengan populasi sekian ratus juta orang masih tetap saja mikir pun sulit, sehingga prestasi yang muncul dari sisi nalar kok kayaknya susah banget. Faktor tersebut antara lain bisa soal gizi, asupan makan, cuaca, penghasilan, pengeluaran, gaya hidup, perilaku, kebiasaan kolektif komunal, dan sebagainya. Eh, contohnya ya asupan makan itu penting. Nggak cukup hanya modal mana yang boleh tidak boleh berdasarkan agama, kalo plastik, limbah dan gizi buruk juga ditelan. Demikian juga dengan perilaku. Kebiasaan untuk membandingkan, menyeleksi dan menyaring informasi juga adalah bagian dari kecerdasan kognitif. Selama masih hajar mentah apapun yang datang dan dipercaya, maka jelas saringan akalnya juga nggak jalan.
Maka nggak heran kalo orang bisa saja secara sistemik mampu meraih gelar sarjana, katakanlah sebagai sebuah ukuran dalam pencapaian berbasis kecerdasan intelektual. Tapi belum tentu yang bersangkutan benar-benar cerdas dan mumpuni, apalagi jika berada di luar bidangnya. Nggak heran jika ada orang terdidik semacam itu percaya bahwa matahari mengelilingi bumi, bumi itu datar, evolusi manusia hanyalah teori, komunisme harus dan hanya bisa dilawan dengan penguatan Pancasila, tidak beragama sama dengan tidak bertuhan, dan sebagainya. Pola pikir semacam itu, entah situ bilang benar atau salah adalah cermin kecerdasan kognitif yang berlaku di masyarakat. Kalo apa-apa dikaitkan dengan iman, bahkan untuk urusan sepele dengan common sense sekalipun, ya berarti otaknya nggak pernah dipake. Mau mikir kok takut salah.
"The trouble with the world is that the stupid are cocksure and the intelligent are full of doubt." ~Bertrand Russell
Itu semua ironis sih, sebab pada saat kita masih harus bisa memberi kontribusi lebih kepada dunia dengan bernalar sehat justru kita saat ini lebih demen ngejar-ngejar sorga. Padahal dengan berpikir kritis dan kreatif, serta memelihata empati maka tidak ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan. Disitulah pentingnya sisi emosional sebagai sebuah kecerdasan. Memelihara gagasan secara bertanggung jawab dan dewasa dengan menerima perbedaan. Bukannya malah balik punggung mengecam sambil buang badan. Maka percuma juga ngaku cerdas, kalo apa-apa masih baperan sentitit. Percuma juga ngaku punya kapling surga dan bersyukur buat diri sendiri, jika empati terhadap orang lain aja nggak punya. Lah, terus situ beneran cerdas gitu? Mosok seh?