Sebagai orang yang erat dengan budaya Hindu Bali, apa yang terjadi di pulau itu pada masa-masa sekarang kian meresahkan. Betapa tidak, semakin banyak protes bermunculan kenapa seolah sebagian orang Bali menjadi diskriminatif; ramah terhadap turis asing tapi terhadap turis lokal dari daerah lain bisa begitu jutek? Hingga ada omongan bahwa orang Bali begitu lupa terhadap siapa yang menyelamatkan bisnis pariwisata saat terjadi pandemi terjadi. Di saat orang asing tidak bisa masuk, orang Indonesia lainnya di era itulah yang memberi kontribusi dengan berkunjung ke pulau Dewata.
Akan tetapi kalau mau melihat lebih dalam dan luas, persoalan semacam itu hanyalah ekses dan konsekuensi dari masalah yang bisa jadi lebih besar lagi. Kita bisa saja bilang itu "ah itu cuma oknum", tapi apakah menyelesaikan persoalan? Kebijakan Kemenparekraf yang mendorong industri pariwisata dari sisi kuantitas membuat turis asing yang masuk tidak terbendung. Beragam kelas dan kualitas hadir tak tersaring. Di permukaan, hanya tampak soal izin tinggal dan kriminalitas. Dalam perspektif yang lebih dalam, efek sosial ekonomi menjadi semakin berlipat. Menurut Kemenkuham, kepemilikan properti oleh orang asing di Indonesia kini jadi boleh dan mudah. Cukup bermodal paspor dan visa. Tentu saja harga properti yang akan diatur oleh Kementerian ATR/BPR ikut naik berlipat. Kenaikan harga properti sudah pasti disusul oleh kenaikan harga lainnya. Tentu saja kelak buat kebanyakan orang muda Bali sendiri jadi
semakin sulit beli properti. Sudah harga naik, banyak yang tetap bertahan di Rumah Gede keluarga yang jumlah penghuninya juga berlipat. Biaya kebutuhan hidup juga bakal melonjak. Apalagi jika tinggal di daerah wisata. UMK tertinggi sebesar 3,3 juta Rupiah juga tidak akan banyak menolong. Fenomena seperti ini sudah terjadi di Barcelona, Spanyol dengan reaksi klimaks warga lokal yang mengusir para turis.
Tapi ini Bali. Nggak akan ada tindakan semacam itu. Lagipula, ini bukan salah turis asing atau warga lokal. Keinginan pemerintah pusat terhadap devisa dengan menggenjot secara kelewat kreatif lewat banyak gagasan yang tak disaring, justru berpotensi mematikan warga lokal. Lihat saja soal Work From Bali beberapa tahun lalu. Dulu maunya supaya para turis asing singgah bekerja onlen dari Bali. Apakah infrastruktur seperti jaringan koneksi internet cepat disiapkan? Belum. Saya pernah keliling Sanur cari hotel yang memadai untuk koneksi internet malah bapuk semua. Ujungnya malah menemukan sebuah Hub yang menyewakan working space. Pemiliknya? Orang Rusia. Sekarang tentu saja orang asing dengan segala kapasitas dan pengetahuannya, lebih cepat menangkap peluang bisnis semacam itu. Tak heran jika kemudian wilayah seperti Canggu berkembang pesat dengan komunitas ‘plat R dan U’. Hal yang dirambah juga bukan saja investasi, tapi juga pekerjaan hingga level terbawah disikat juga. Masuk ke Bali, membiasakan diri, kemudian buka usaha tertutup mulai dari penyewaan kendaraan, tour guide, bikin warung, guru yoga, dan sebagainya. Work From Bali udah jadi Work In Bali.
"The disrespectful tourists, environmental damage and economic dependency stemming from the current wave of tourism are consequences that will likely ruin the island paradise." ~Rohan Raman - Nique.net
Sementara itu, antisipasi pemerintah masih bersikap parsial. Buat pariwisata sebagai pintu masuk, terpenting adalah seberapa banyak turis yang bisa masuk. Buat imigrasi dan kepolisian, sepanjang tidak melanggar izin tinggal, tidak kriminal dan tidak ada aduan ya nggak bisa diapa-apain dong. Buat pemerintah lokal, selama bisa memberi hasil pemasukan ya nggak masalah. Buat perpajakan, selama bayar ya nggak soal. Aman-aman aja kan? Emang nggak ada koordinasi dan pemahaman yang serius. Padahal bule-bule itu datang bukan cuma berwisata kayak dulu. Semakin lama, semakin banyak yang berbisnis mulai dari atas sampai bawah. Kasarnya, mulai dari bikin villa sampe bikin tipat cantok juga dikerjain. Dua dekade lalu, mereka berinvestasi dengan perantara untuk membeli tanah tebing yang dijual murah karena warga lokal berpikir itu nilainya rendah, tak ada guna dan siapa juga yang mau tinggal di situ. Tau-tau jadi hotel bergondola dengan tarif jutaan permalam. Tau-tau pekerjanya ya warga setempat yang ternyata adalah mantan pemilik tanahnya. Sekarang, tetiba para bule itu sudah bisa bawa motor sendiri, nyewain kendaraan dan penginapan pula karena boleh punya properti, yang nyewa temen-temennya, duitnya berputar masuk ke rekening dan lari ke negaranya, apalagi kalo ilegal ya pasti nggak bayar pajak juga kan ya?
Jadi buat turis lokal yang merasa dirinya dianggap numpang lewat, dicuekkin atau malah dijutekkin ya maap aja. Bisa jadi Bli atau Mboknya lagi pusing dengan penghasilan yang nilainya semakin turun, biaya buat mebanten saat ada piodalan juga bertambah naik, bingung dengan urusan kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak, uang bensin dan sebagainya. Toh nggak banyak yang bantu mikirin. Toh orang luar Bali yang datang masih bisa bersantai-santai, foto-foto cantik buat di medsos, menjadi turis di negara sendiri. Tapi kelean emang pahlawan depisah sesungguhnyah, dateng ngabisin duit buat liburan cepat 2-3 hari meski supir travel ngedumel ini kok maunya dari Kuta ke Sanur terus Amed lanjut bablas Ubud dalam waktu sehari, meski penjual souvenir suka bingung kalo ngadepin kelean yang maunya beli banyak dan murah pake nawar sadis, meski pedagang be guling suka dilewatin doang karena banyak di antara kelean kagak berani ke situ. Kelean emang patut diacungin jempol karena mau ngabisin duit di sini. Kita lupakan para turis asing pendatang investor dan pedagang barang jasa dadakan dari luar negeri itu. Mereka jalan-jalan buat survei dan riset bisnis. Mereka lagi bersiap keruk devisa buat diri dan tempat asalnya. Lha pengelola negara ini aja gagap mikirin, apalagi kita? Maka nggak perlulah ya saling ribut. Eh, jadi bener Bali sudah dijual? Coba tanyain lagi.