Mendengar kata korupsi, orang biasanya mebayangkan ada tindakan yang dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri dengan menimbun uang. Akan tetapi sebenarnya persoalan yang ada tidak sesederhana dan sesempit itu. Kata korupsi sendiri berakar dari bahasa Latin corrumpo dengan kata sifat corruptio yang berarti buruk, hancur, terkutuk dan tidak bermoral. Dengan akar kata demikian, maka korupsi kemudian dipahami dan berkembang sebagai sebuah tindakan yang dikaitkan dengan penyuapan. Nah, nyuap orang bukan pake sendok tapi pake duit kan? Definisi yang kemudian muncul juga jauh lebih luas.
Jadi orang seringkali terpukau melihat sebuah praktik korupsi yang menyuap entah aparatus negara yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan jumlah yang fantastis. Padahal spektrum terhadap korupsi itu juga sangat luas. Ada yang kecil-kecilan, nanggung dan juga massif. Ada yang di berbagai sektor publik hingga privat. Ada yang melibatkan perseorangan, ada juga yang berjama'ah. Ada yang berupa suap, ngotak ngatik pembukuan, pemberian hadiah atau gratifikasi dan sebagainya.
"Padahal pemberian gratifikasi sebesar apapun tidak akan pernah sepadan dengan posisi yang diberi, serendah apa pun." ~FRS
Maka korupsi memiliki dua makna. Pertama, makna luas sebagai tindakan yang merugikan dalam skala besar sekaligus memperlambat dan membuat sistem menjadi busuk. Sebab korupsi yang dilakukan bisa berpotensi menular lantaran orang menganggapnya sebagai sesuatu yang menjadi lumrah jika dibiarkan. Ini menjadi semacam kanker yang menyebar sehingga sistem yang dibuat seefisien dan secanggih apapun jadi macet. Pelayanan menjadi berlama-lama karena nggak ada duit pelicin. Di satu sisi orang sebagai pengguna jasa jadi ekstra mengeluarkan lebih, lantaran pengen jadi cepat. Sementara di sisi lain orang sebagai pemberi jasa jadi berharap ada monetisasi sebagai tambahan, sampingan atau penyemangat kerja. Korupsi yang dilakukan kemudian jadi mewabah dan bertingkat karena semua jajaran yang terlibat bahkan tidak terlibat harus kebagian. Sebab mereka yang berada di posisi bawah juga harus giat mengumpulkan uang buat disetor ke atas, sedangkan yang di atas pun kalo lebagian juga siap mengucurkannya hingga ke bawah. Sebuah birokrasi yang sudah kena kanker model beginia bisa dipastikan akan terkenal cepat membusuk dan sering dihindari orang untuk berurusan kecuali kalo kepepet. Bisa disebutlah pelayanan macem apa yang mungkin pernah terkenal dengan cara-cara demikian. Pasti ada pengalaman kan?
Kedua, makna bias sebagai tindakan memberi atau gratifikasi kerap dikaitkan dengan budaya 'Ketimuran' yang mengapresiasi kerja, merawat relasi, memperluas kenalan, mempererat persaudaraan dan kemudian memperlancar proses dengan cara memberi. Memberi ini mulai dari bingkisan atau duit buat personal, keluarga hingga handai tolan. Ini masuk dalam budget yang memang disediakan secara khusus dalam rangka menjaga hubungan semacam itu. Sementara, yang diberi pun mengira bahwa hal semacam itu bukan saja lumrah tetapi menjadi kewajiban. Setiap hari raya, ada ulang tahun, promosi naik jabatan, jadi sesuatu yang kemudian dipahami sebagai saat-saat membahagiakan yang melimpah. Apakah wajar? Jelas tidak. Mereka lupa bahwa posisi strategis yang diemban justru harus mampu menjaga marwah diri dari kompetisi yang tidak sehat, menjaga martabat jabatan sebagai pencapaian yang tidak bisa dijilat begitu saja. Sudah pasti yang memberi juga menginginkan sesuatu. Mana ada makan siang gratis. Padahal pemberian gratifikasi sebesar apapun tidak akan pernah sepadan dengan posisi yang diberi, serendah apa pun. Professionalisme dalam konteks ini menjadi tercabik-cabik gegara pemahaman akan proses relasi yang ditafsirkan secara keliru. Apa yang disebut dengan budaya 'Ketimuran' yang dikaitkan dengan harmoni, kebersamaan, keluwesan, perhatian tersebut juga irelevan alias nggak ada hubungannya. Itu hanya penyederhanaan makna. Sama seperti bias 'Kebarat-baratan' yang dianggap identik dengan efisiensi, tepat waktu, dingin dan kaku, profesional dan sebagainya.
Maka korupsi jelas adalah perkara mental dan persepsi. Orang menjadi korup bukan saja karena memberi atau menerima duit. Menggunakan fasilitas tidak sebagai mestinya atau tidak sesuai dengan peruntukannya, adalah juga korupsi. Misalnya saja mobil dinas dipake buat bini belanja. Mengambil sesuatu seperti peralatan kantor atau kerja demi kepentingan pribadi, juga korupsi. Datang terlambat dan tidak memberikan pelayanan yang baik, juga korupsi. jadi tindakan tercela tersebut tidak melulu berkaitan dengan soal uang. Segala sesuatu yang memperlambat, membuat sistem menjadi busuk adalah korupsi. Ini nggak cuma ada di dalam birokrasi atau pelayanan publik. Jika soal mental, maka termasuk pula di dalam tindakan kita sehari-hari. Demen dateng telat? Ingkar janji? Entar besok entar besok? Nah, koruptor kelas teri kan lu.
Selain itu, orang juga menyangka korupsi dilakukan karena gaji kecil, nggak cukup dan pengen sejahtera. Itu motif yang sungguh teramat palsu dan brutal. Korupsi banyak dilakukan oleh orang bergaji besar atau kecil bukan karena nominal, tapi karena merasa selalu tidak pernah bisa cukup. Ini mentalitas inferior yang merasuk dan berkembang dalam berbagai lapisan masyarakat. Mau jadi berpotensi kaya punya uang? Jadilah pengusaha. Mau punya kuasa? Jadilah pejabat. Tapi kalo pejabat mau kaya dan pengusaha mau berkuasa, lah konyol namanya. Maka berbondong-bondonglah menjadi politisi kakap, supaya bisa jadi pejabat dan sekaligus juga punya modal buat jadi pengusaha. Alam pikir semacam itulah yang kemudian berlomba di benak banyak orang sehingga mereka tidak bisa lagi membedakan fungsi, peran dan tugas yang sesungguhnya. Hal yang terburuk adalah ketika fenomena semacam itu bukan saja dipercaya tetapi juga ditiru habis-habisan. Meski cuma sekedar mimikri atau replika, tapi jika dianggap menguntungkan ya sikat.
Maka memutus rantai korupsi seperti itu nggak akan ada habisnya. Meski jadi mata kuliah sekalipun sebagai entah media pendidikan atau kampanye politik anti nganu ngono ya tetap aja korupsi ada, karena ini bukan sekedar masalah kognitif. Orang tau kok korupsi itu salah. Mereka bisa teriak menolak, tapi begitu masuk dalam lingkaran setan itu apa iya bisa bersuara? Kan sama aja kayak narkoba jadinya. Jadi untuk memberantas korupsi ya butuh mental yang sangat kuat dengan mempertimbangkan harga diri agar tidak memikirkan sekalipun untuk mau berbuat semacam itu. Tapi ya susah juga. Kalo bicara harga diri saat ini jatuhnya "wow murah banget!". Apalagi pake alasan berkorban buat keluarga. Demi anu ono, demi Tuhan segala. Nah, kalo dah sekali harga diri nggak punya. Susah nyarinya. Nggak bakalan nemu meski mau beli di Kotopedia atau Sukapalak. Anyep.