Pengalaman profesional selama belasan tahun menunjukkan bahwa menjadi moderator dalam sebuah diskusi tidaklah membutuhkan sebuah pengetahuan formal, melainkan jam terbang tinggi untuk mengenali dan menjalani proses moderasi terhadap diskusi dalam berbagai bentuk. Diskusi sendiri bukan sekedar omong-omong warung kopi atau presentasi ide, melainkan cara untuk mengumpulkan keterangan, opini, pernyataan, kesimpulan yang masih harus ditarik insight-nya. Mengapa demikian? dengan mencari insight, maka ragam keterangan hingga kesimpulan itu dikupas untuk mendapatkan pengertian yang sesungguhnya. Sebagai contoh, ada pernyataan bahwa si A suka pisang dan B suka apel. Apakah insight dari pernyataan itu? Mengapa ada yang suka pisang dan ada yang suka apel? mengapa berbeda? Apa latarnya? Dengan menggali lebih dalam, maka misalnya si A suka pisang karena harganya lebih murah, atau B suka apel karena trauma sama pisang maka insight secara perlahan bisa didapat dan ditelusuri lebih jauh. Jadi salah satu fungsi moderator, khususnya seperti di dalam Focus Group Discussion atau FGD adalah memancing agar pernyataan-pernyataan lanjutan dapat keluar lebih jauh tanpa harus leading atau mengarahkan, bahkan menggurui.
Sampai di sini dapat diketahui bahwa diskusi bisa memiliki ragam bentuk. Ada yang online/offline, ada yang diskusi panel dengan pembicara, ada FGD dan lain-lainnya. Peserta bisa sangat beragam. Ada yang homogen saling mengenal, ada yang mixed tidak saling kenal. Ada yang berjumlah bisa dihitung dengan jari hingga belasan orang. Sebab diskusi dengan katakanlah lebih dari sepuluh orang, tidak akan berjalan efektif dari sisi perhatian, waktu, pengelolaan ruang hingga output yang mau didapat. Secara psikologis, waktu efektif orang untuk bicara dan menyerap informasi adalah dua jam. Lebih dari itu, sudah mulai tidak punya konsentrasi penuh, bosan, hingga lelah.
Maka menjadi seorang moderator tidaklah mudah. Pertama, secara kepribadian seorang moderator harus memiliki kemampuan untuk berbicara dengan jelas, dapat berkomunikasi dengan baik, mampu mengatur tempo, memahami konteks acara, menguasai pertanyaan-pertanyaan dan alur. Kedua, secara psikologis seorang moderator harus dapat mengontrol jalannya diskusi, tegas menentukan aturan, serta mampu menciptakan situasi agar orang mau berbicara dengan apa adanya, lugas, tanpa dibuat-buat dan tanpa berlarut-larut. Ketiga, secara tematis, seorang moderator harus memahami topik meski belum tentu secara personal menguasainya di dalam keseharian. Semisal dalam diskusi mengenai teknologi pangan, maka yang bersangkutan harus bisa paham definisi, istilah, kategori, isu kekinian yang berkaitan dengan teknologi pangan. Maka seorang moderator juga perlu melakukan riset kecil-kecilan untuk memperkaya pengetahuan bidang yang berkaitan dan menjadi tema diskusi meski ia belum tentu sarjana teknologi pangan atau dalam keseharian tidak bersentuhan dengan tema tersebut.
...seorang moderator, terutama FGD harus mampu membaca teks (narasi yang disampaikan oleh peserta), membaca konteks (insight yang dihasilkan dari narasi) dan membaca pola (informasi yang didapat di luar penyampaian seperti gesture, tingkah laku dan sebagainya).
Selain itu, tuntutan peran seorang moderator juga menarik bagi para audience agar jalannya diskusi baik panel atau terutama FGD bisa menjadi hangat karena antusiasme dan partisipasi semua yang hadir. Maka menguasai ruang dan waktu menjadi penting. Bayangkan jika seorang moderator enggan berinteraksi, tidak mampu mencairkan suasana melalui ice breaking, enggan menyapa bahkan tidak menatap, sibuk mencatat atau malah asyik sendiri, maka sudah dipastikan kualitas diskusi akan menjadi rendah. Terlebih jika peran moderasi hanya digali melalui pengetahuan teoritis, tanpa pernah bisa memberikan contoh yang memadai. Ini cukup sulit, karena contoh berupa storytelling atau narasi adalah berdasarkan pengalaman dan jam terbang.
Terakhir, seorang moderator juga harus mampu menyimpulkan dengan cepat pembicaraan yang dilakukan. Ini bersifat teknis karena ia bisa terbantu dengan membuat notasi dan merangkum inti percakapan secara mandiri selama diskusi. Peran tambahan ini berbeda dengan notulen, karena notulen membuat catatan rinci dan digunakan setelah diskusi. Kesimpulan itu akan digunakan untuk menutup setiap sesi jeda dan sesi akhir agar semua partisipan dapat mengetahui arah diskusi dan bagaimana hasil yang didapat. Dengan demikian seorang moderator, terutama FGD harus mampu membaca teks (narasi yang disampaikan oleh peserta), membaca konteks (insight yang dihasilkan dari narasi) dan membaca pola (informasi yang didapat di luar penyampaian seperti gesture, tingkah laku dan sebagainya).
Maka moderator yang paling bagus, seperti di dalam FGD adalah bagaimana membuat peserta, responden atau narasumber bisa berbicara panjang lebar dalam tanpa diminta atau digali dengan bersusah-payah. Tinggal ngatur tempo dan dapetin insight-nya saja. Dah keren lah itu.