Di dalam relasi interpersonal, seringkali didapat proses yang mengejutkan dan tidak berlangsung seperti diprediksi atau diharapkan. Semisal, ada pengandaian bahwa dalam konteks relasi semacam itu maka yang terlibat adalah individu-individu yang sama-sama dewasa, bertanggungjawab, serta terbuka di dalam menyatakan kehendak masing-masing. Pada prakteknya ternyata nggak gampang. Selain tingkat kedewasaan mental yang berbeda, tidak semua orang bertanggung jawab terhap apa yang dilakukan. Terpenting, tidak semua pula orang bersikap terbuka dalam membuat pernyataan, ekspresi atau menyampaikan keinginan.
Ini bisa saja dibahas dari perspektif kultural bahwa bisa jadi ada kebudayaan tertutup yang memang memperlihatkan sekelompok masyarakat yang terbiasa dengan bentuk komunikasi tidak langsung. Seperti misalnya bahasan soal pelet atau santet dalam budaya tertentu yang sebenarnya merupakan cara refleksi ungkapan perasaan suka atau benci secara tidak langsung. Kenapa demikian? Nggak biasa ngomong terus terang berhadapan blak-blakan. Coba cek, apa iya di dalam keluarga sendiri biasa ngomong i love you sama ibu bapak? Nggak semua ada. banyak yang canggung malah. Katanya, dasar orang timur nggak biasa ekspresif.
Tapi saat ini kita berada di tengah masyarakat modern. Idealnya proses komunikasi dalam konteks relasi yang lebih serius semacam kerja atau bisnis sekalipun bisa berjalan dengan terbuka. Ternyata masih sama saja. Dalam relasi interpersonal di ruang itu pun orang masih terbiasa untuk menutup perasaan tapi sekaligus juga tidak mampu mengekspresikannya. Maka istilah ngambeg, pundung, baper pun muncul kalo komunikasi gagal. Segala sesuatu dibawa menjadi personalized karena sudah terbiasa begitu. Tetiba bisa nggak bersuara, diam seribu bahasa, atau malah ngamuk-ngamuk nggak jelas karena kesinggung. Padahal sejak awal bisa dibicarakan secara terbuka. Tapi lucunya, respons yang diberikan juga sama bawa perasaan alias baper; balik nggak tegoran, atau malah menjadi konflik tertutup dan berjalan diam-diam namun ada.
Nah, bayangkan saja jika di level yang lebih rendah seperti relasi dalam konteks pribadi seperti perkawanan biasa juga terjadi hal semacam itu. tau-tau ngambeg, ngeblock bahkan delete contact. ketemu muka diem-dieman atau malah blagak pilon pura-pura nggak ngelihat. Padahal harapannya ditegur atau diajak omong duluan. Kan babi namanya. Sebab hal semacam itu sering terjadi bukan lagi pada anak kecil belasan tahun, tapi orang sudah tua uzur sekalipun juga mampu begitu. Jadi baper itu selalu berujung caper atau cari perhatian. Mencari perhatian adalah cara berkomunikasi secara tidak langsung yang kerap dimulai dengan seteru, konflik, atau perbedaan yang sengaja ditimbulkan. isinya nggak penting secara substansial, tapi cara yang digunakan cenderung kasar agar orang menoleh dan kemudian mengajak bicara. Itu sama kayak orang anonim mendadak bikin status menghujat dengan harapan dibalas. Itu sama kayak tetiba ada yang berceloteh "lu kemana aja sih, sombong amat". dengan kata lain sebenarnya mau bilang,"Kok lu nggak negor-negor gue".
“The average adult hates being treated like a child, unless it suits them.”~ Mokokoma Mokhonoana
Lanas apa resikonya? Pertama jelas, memang tidak ada solusi yang bisa diharapkan ketika sebuah relasi yang dasarnya selalu dipersonalisasi untuk bisa menjadi lebih terbuka atau bahkan profesional. Hubungan yang lebih serius seperti soal kerjasama atau sesuatu yang bersifat produktif menjadi mentah, sebab rasa tanggungjawab sah jelas ada dalam skala yang kecil. Kedua, dengan situasi semacam itu maka tidak ada yang bisa dihasilkan lebih banyak ketimbang hanya sekedar saling berinteraksi tanpa tujuan yang pasti. Satu per satu orang akan melihat bahwa relasi macam demikian tidak ada gunanya untuk tujuan yang bersifat lebih strategis. Dengan kata lain, kenal aja dah bagus asal nggak ngerugi'in. Ketiga, apapun reaksi yang diberikan orang yang caper adalah refleksi kesulitan, kebutuhan dan keterbatasan diri mereka sendiri. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan orang lain. Maka tak perlu kuatir tentang apa yang mereka katakan. Namanya juga kayak anak kecil. Butuh perhatian dengan gaya ngambegan. Buat apa? Sekedar pengakuan sosial. Harus dianggap ada dan penting. Gila aja.
Jadi sekali lagi, substansi memang nggak penting. Orang caper akan selalu ada, dan selalu pula menggunakan cara semacam itu untuk mengekspresikan perasaan. Perasaan? Ya iyalah, sebab kalo pikiran ya kagak sanggup mikir. Perasaan aja sulit untuk bisa terbuka, apalagi pikiran. Masa iya harus dielus punggung dan ditanya dulu "jadi mau elu apacih sayang?". Yaelah, hari gini harus masih dibuka dulu komunikasinya dengan cara asimetris kayak gitu. Katanya dah sama-sama dewasa, tapi masih harus dibujuk. Pacar bukan, pasangan bukan, temen bukan, kenal juga baru, eh malah anonim sebenarnya. jadi mau elu apa? Nah, itu pertanyaan yang paling menohok tapi ntar ujungnya caper balik jadi baper lagi. Nggak seru. Bikin lelah hayati. Cuekin aja.