Warga plus enam dua ini begitu demen dengan prank. bahkan istilah itu jadi populer karena melihat banyak hiburan di media televisi maupun media sosial yang menampilkannya. Istilah prank sendiri sebenarnya dalah bentuk practical jokes atau becandaan yang bertujuan untuk memberi rasa malu, tidak nyaman, terkejut dan bingung kepada target. Pelakunya disebut prankster. Banyak yang suka menonton bagaimana si korban mendapatkan perasaan semacam itu. Terlebih jika kejutan yang diberikan kemudian membuat orang jadi ketagihan untuk melihat bagaimana si target 'menderita' meski kemudian ending-nya diperlihatkan bahwa ini tidak lebih dari sekedar guyonan.
Lantas kenapa suka dengan prank? becandaan selalu punya hubungan dengan tingkat kecerdasan. Orang yang cerdas sudah pasti becandanya nggak jauh dari konteks gurauan yangb bersifat witty atau dark jokes. Permainan kata, analogi, metafora dan sebagainya. mereka yang medioker dan emang agak-agak berotak onyoi lebih demen melihat becandaan fisik semacam slapstick. kepala ditoyor hingga saling pukul. Oleh karena orang cerdas relatif jumlahnya sedikit, maka becandaan mereka bisa dituduh garing. Selain itu secara historis, dunia hiburan di negara ini nggak lepas dari urusan becanda kasar. Lihat saja film-film komedi jadul, panggung lawak, hingga acara di televisi. Sejak tahun 1970an selalu menampilkan sosok yang dibuat lucu hanya dengan sekedar melihatnya. Fisik atau kostum yang aneh dan mengundang tawa. Hal yang menarik adalah urusan hiburan juga menampilkan sosok yang secara stratifikasi sosial dianggap lemah tapi konyol. Maka nggak heran selalu ada peran antara majikan dengan pembantu atau pemuda dengan janda.
Di masa sekarang, kekonyolan fisik itu kemudian bertransformasi menjadi peran yang lebih modern. Akan tetapi malah jadi tambah kasar karena sudah main keplak, tabur tepung atau tarik kursi hingga jatuh. Menertawakan sesuatu butuh obyek yang kemudian bisa meleset menjadi perundungan dan viktimisasi. Itu sama persis seperti kita melihat orang yang latah dan kemudian malah terpancing untuk menggoda. Padahal latah itu melelahkan. Apalagi jika orang tersebut tingkat latahnya juga pada aspek fisik. Fenomena yang masih berlangsung dalam urusan ngakak itu memberi makna bahwa tingkat kecerdasan mayoritas orang masih segitu-gitu aja. Dengan tiadanya perubahan dari abad lalu, maka jelas bahwa edukasi untuk membuat selera menjadi meningkat juga tidak kedengaran suaranya.
"Everything is funny, as long as it's happening to somebody else". ~Will Rogers
Padahal prank itu jelas berbahaya. Pertama, jelas orang bisa menjadi trauma baik secara fisik maupun mental. Bukan saja karena sakit tapi juga malu ditonton jutaan banyak orang. Inget, media sosial punya kekejaman tersendiri untuk membuat dan merekam sebuah peristiwa sebagai sebuah jejak yang nggak mungkin dihapus dalam sekejab. Kedua, prank mewariskan sebuah tontonan tentang kebodohan yang akan dilihat hingga generasi berikutnya. Apa si pelaku nggak malu? Ya malulah terlebih jika urusan becandaan kasar ternyata cuma jadi mata pencaharian. Itu sih nista bener. Ketiga, kecerdasan yang tidak pernah dilatih, dirawat dan dibiasakan untuk bisa menikmati gurauan secara sehat bagi pikiran tentu saja akan menjadi indikasi bertapa gagalnya pendidikan di negara ini. Ketika perundungan jadi hal yang dianggap biasa, maka tidak ada tempat yang aman buat menikmati becandaan. Koyol ya boleh, tapi buat apa keterlaluan?