Konon katanya, ketika seseorang semakin tua maka jumlah temannya semakin sedikit. Seejalan dengan usia, semakin dewasa seseorang maka lingkaran teman yang ada semakin pupus. Jumlah kenalan bisa bertambah banyak, jumlah teman malah berkurang. Terlebih orang yang dianggap bisa saling mengerti dan memahami. Meski sudah kenal sejak lama, bisa jadi gegara beda kelas atau pemahaman, maka jalan dan tujuan yang ditempuh kemudian bisa berpisah. Hal semacam itu wajar-wajar saja. Malah semakin dewasa, biasanya orang males direpotin dengan segala drama, konflik, atau hal-hal pritil nggak penting. Cuma bocah atau orang yang kekanak-kanakan yang demen begituan kan?
Jumlah teman yang semakin sedikit itu sesuai dengan Teori Pertukaran Sosial. Teori ini dicetuskan oleh banyak psikolog sosial mulai dari Thibaut, Levi-Strauss dan lainnya. Intinya sih, relasi antar manusia itu punya nilai sosial ekonomis. Mau bertemen, pacaran, nikah, kerja, kumpal-kumpul ya semua udah kayak bisnis; ada pertimbangan untung rugi, ada biaya, ada imbalan, ada juga keuntungan. Meski demikian, pertimbangan semacam itu tidak melulu bersifat material, tapi juga kepuasan dan rasa nyaman. Misalnya saja, tiap ketemu malah situ melulu yang ntraktir sementara temen ente nggak pernah keluar duit. Rugi kan? Tiap ketemu malah dirimu yang jadi sasaran untuk memberi nasihat, sedangkan dia ngeluh terus. Tiap ketemu malah elu yang sibuk memperhatikan kapan dia ultah kapan, dia lagi stress dan butuh dihibur, kapan dia laper, sedangkan elu? Boro-boro diingat.
Lama-kelamaan idealnya orang harus sadar bahwa dalam bentuk relasi semacam itu jelas bersifat asimetris dan tidak menguntungkan sama sekali. Untung di sini bukan soal profit alias perhitungan material, melainkan benefit yakni nilai kebaikan. Jadi belum tentu semua pertemanan punya nilai yang baik. Itu jelas sangat rasional. Hanya saja, seringkali orang menyangkal bentuk rasional semacam itu dengan memberikan alasan seperti "udah kenal dari kecil", "nggak enak karena udah kayak saudara", "masa sih harus itung-itungan", "terlanjur sayang" dan sebagainya. Jadi ya siap-siap makan ati seandainya pertemanan atau relasi apapun seperti itu tetap terus berlangsung. Abaikan jika relasi asimetris itu menjadi semakin memberatkan dari hari ke hari. Persis kayak korban KDRT yang mentalnya sudah diblok jadi nggak bisa menghindar meski tau apa yang sebenarnya terjadi.
Belum lagi jika diketahui bahwa teman yang dihadapi itu memang pada dasarnya tidak punya niat baik, setidaknya untuk jujur berterus terang soal dirinya. Banyak orang yang berusaha menutupi kekurangan baik dari sisi kelas sosial, status, pendidikan, kapasitas dan sebagainya, dengan cara melebih-lebihkan atau tidak mau berterus terang siapa dia. Padahal, namanya berteman adalah soal kejelasan. Lu siape, keluarga dimane, mak bapaklu gimane, tinggal sebelah mane dan seterusnya. Kejelasan seperti itu mungkin memalukan. Ada yang berasa sudah jadi elit di kampung, tapi begitu keluar malah jadi kucing kurap serba bingung. Susah untuk biasa-biasa saja. Ada juga yang dengan kondisi seperti ini mendadak menjadi agresif karena rasa malu dan kuatir untuk tidak dianggap sebagai teman. Akhirnya sibuk berpura-pura, baik pura-pura menyenangkan atau pura-pura sugih. Ogah kalah jadi nggak mau mengalah.
“Most people want to see you do better, but not doing better than them.” ~London Mond
Dengan seseorang semakin bertambah dewasa, maka kemampuan untuk secara alamiah menyeleksi dan memilih juga idealnya semakin bertumbuh. Kalo dah gede, tentu sudah semakin confirmed untuk berani menolak dan berkata tidak. Dari sisi Teori Pertukaran Sosial, akhirnya orang juga dapat mengetahui ada kualitas tertentu untuk relasi sosial yang berlaku bagi siapa saja termasuk dirinya. Pertama, ada yang asik diajak curhatan tapi nggak bisa kerja. Kedua, ada yang enak kerja bareng tapi nggak bisa adil soal duit. Ketiga, ada yang bisa jujur soal uang tapi ngember. Jadi menemukan orang bahkan diri sendiri untuk bisa menyenangkan,, profesional dan adil itu sulitnya setengah mampus. Jangan harap bisa menuntut orang lain punya kualitas semacam itu jika diri sendiri aja nggak bisa kan?
Jadi meski kenalan bertambah, teman akan berkurang dan terseleksi secara alamiah. Mereka yang palsu akan tersingkir begitu saja. Termasuk juga diri sendiri yang jika nggak punya kualitas lebih, janganlah menuntut hal yang sama kepada orang lain. Jika ditinggal ya memang pasti ada apa-apa dan lebih baik memilih untuk tidak pusing. Mungkin memang tidak cocok, beda kelas, beda cara, beda jalan dan tujuan. Berasa kesepian? Buat apa, toh mati juga kagak ngajak-ngajak.