Di dalam masyarakat modern yang begitu kompleks dengan rutinitas dan permasalahan hidup sehari-hari, kecerdasan pikir menjadi salah satu tolak ukur penting tentang bagaimana orang dapat memainkan peranan berkaitan dengan kepentingan diri dan sosialnya. Akan tetapi kecerdasan pikir atau intelektualisme memang bukan satu-satunya, dan itu pun seringkali dipandang dan digunakan secara berlebih.
Bagi sebagian anggota masyarakat yang merasa terdidik dan atau merasa pendidikan adalah kunci, tanpa disadari mengelola kecerdasan pikir itu tidak mudah. Di satu sisi, ada apresiasi yang menonjolkan gelar, atribut dan pencapaian akademik yang tidak pada tempatnya. Merasa bahwa semakin tinggi sebuah standar hidup, maka embel-embel di depan dan di belakang nama itu jadi penting untuk digunakan misal pada undangan pernikahan atau bahkan pencalonan legislatif.
Akan tetapi di sisi lain untuk mereka yang merasa dirinya cerdas, maka ada kecenderungan untuk berpikir secara abstrak dan rumit berlebihan. Pikiran mengembara liar kemana-mana bahkan untuk satu topik sedergana sekalipun yang sebenarnya dapat dipahami dan dijelaskan dengan mudah. Ujungnya, ide-ide absrak semacam itu terputus dengan aspek praktis di dalam kehidupan. Relasi antar pribadi dan tugas sehari-hari jadi 'nggak nyambung' dengan apa yang dipikirkan. Hal semacam itu yang dilakukan secara berulang, mengarah kepada perfeksionisme atau keharusan untuk menjadi sempurna. Ada yang menunda-nunda, ada pula yang takut gagal. Apa yang bisa dikerjakan, menjadi sesuatu yang harus dilihat, diulas dan diteliti berulang kali tanpa pernah memulai dengan sederhana.
Kebiasaan semacam itu membuat para cendekia yang takut gagal ini menjadi kesulitan dalam mengekspresikan gagasan mereka untuk bisa dipahami secara sederhana. Pikiran menjadi ruwet dan ribet bukan saja untuk hal kecil bagi diri sendiri, tak tak mampu juga untuk menjelaskan kepada orang lain. Akhirnya kemampuan berkomunikasi menjadi sulit. Dituduh asosial dan tidak mampu bergaul dengan orang lain. Dengan menganggap orang lain tidak mudah paham, bodoh dan lebih rendah, maka arogansi pun muncul dan semakin terisolasi. Mirisnya, mereka yang merasa pintar ini bahkan kerap tidak mampu mengurus kebutuhan dirinya secara pantas.
"The mind is a wonderful servant but a terrible master." ~William Golding
Lantas harus bagaimana? Membiasakan diri untuk menguasai tidak saja kecerdasan pikir tetapi juga kemampuan teknis akan dapat membantu memecahkan masalah sehari-hari. Berpikir tentang bagaimana eksistensi posmodernisme di era digital saat ini juga harus mampu menggunakan AI, atau setidaknya ganti password. Bicara soal pengaruh pasar daring dan luring terhadap masyarakat juga tentunya bisa mengoperasikan cara belanja dan jualan di online market place. Artinya, ada aktivitas yang tidak sepenuhnya intelektual yang harus dapat dilakukan. Ini mengimbangi kemampuan pikir dengan bentuk lain seperti kegiatan fisik, cara kreatif dan interaksi sosial.
Selain itu, harus pula mampu menentukan tujuan secara realistis. Belajar memisahkan keinginan atau gagasan besar menjadi tugas yang kurang kompleks, dapat dieksekusi dan dikelola melalui langkah-langkah sistematis. Ini penting lantaran para pintar-pintar itu tak pintar amat mewujudkan ide supaya lebih praktis. Biasanya berakhir di kertas doang. Sombong pula. Maka belajar menerima ketidak sempurnaan juga sama pentingnya dengan mengasah kemampuan komunikasi sosial. Bagaimana orang bisa paham jika terlalu mengawang-awang, selalu teoritis dan nggak mau kelihatan salah?
Jadi berpikir cerdas itu sebenarnya aset yang luar biasa, tapi dapat menjadi problematis jika dibiasakan secara berlebihan terutama ketika menyangkut relasi dan hidup sehari-hari. Mengasingkan dan bahkan memutus diri terhadap realitas. Untuk dapat memahami hal ini, jelas harus ada kesadaran baru untuk mengelola kecerdasan pikir agar hidup lebih berimbang dan berisi. Sayangnya, kerap kali orang yang tampil pintar enggan untuk mau mengakui dirinya bodoh juga kan?