Ini sebuah kasus menarik. Sebuah perusahaan penyedia jasa internet -dengan pedenya- melakukan perubahan sistem secara besar-besaran baik dari jenis layanan, jenis paket, peralihan dari unlimited menjadi fair usage policy, penerapan billing cycle baru dan sebagainya. Hal yang tidak diperhitungkan bahkan cenderung anggap remeh oleh manajemen adalah waktu dan risiko yang harus ditelan. Secara internal, perubahan itu pastinya bikin pusing kepala semua pihak mulai dari sales dan marketing yang susah jualan, bagian finance yang sulit memproses pembayaran, hingga pastinya IT yang dimaki-maki semua orang.
Demikian juga secara eksternal yakni konsumen yang menjadi histeris karena internet mendadak mati, susah bayar, bahkan banyak yang downgrade paket atau malah putus berlangganan. Oleh karena rame di media sosial, maka pertanyaan-pertanyaan yang nggak penting bermunculan; misal "di tempat saya mati, di tempatmu gimana?". Entah kenapa persamaan yang jelas bisa jadi beda wilayah atau kota itu kok jadi patokan. Atau lebih konyol lagi, "lho emangnya udah ganti ya?". Kemana aja dikau, mbang.
Terlepas dari yang dilakukan si perusahaan, reaksi konsumen mencerminkan bahwa ada gap besar dari teknologi yang cukup mumpuni berupa internet fiber optik dengan kecepatan tinggi, berbanding dengan kecerdasan konsumen sebagai pengguna. Hal-hal yang semestinya bukan masalah, malah dipermasalahkan. Apa yang jadi masalah, cenderung diabaikan. Lantas apa iya konsumen kita sebebal itu? Kata bebal, dongo atau ndableg adalah terjemahan yang paling pas untuk ignorance. Bukan goblok atau tolol. Rerata orang zaman sekarang pastinya punya pendidikan formal. Pinter-pinter malah. Tapi bersikap abai, menggampangkan, atau hah hoh hah hoh itu memang yang bikin cepet mati duluan kalo ada krisis atau konflik.
“It's the Yelp effect. Every halfwit who eats food suddenly thinks he's a food critic. And don't get me started on people “reviewing” books they didn't even read. Who needs information, when you can have an uninformed opinion?” ~Oliver Markus Malloy, Why Creeps Don't Know They're Creeps - What Game of Thrones can teach us about relationships and Hollywood scandals
Sikap demikian biasanya dikaitkan dengan literasi. Meski cukup berpendidikan tapi kalo miskin literasi seperti soal keuangan, media dan berpikir kritis maka akan jadi sia-sia. Sebab ketiganya dibutuhkan sebagai pintu masuk dunia konsumsi modern secara efektif. Tanpa dasar kemampuan itu, manusia sebagai konsuman tidak mampu menerjemahkan fenomena yang dihadapi. Akan tetapi upaya tersebut bisa juga menjadi terbatas karena orang tidak punya cukup waktu dan sumber kognitif untuk mempelajari dulu setiap keputusan yang mau diambil. Jadi kadang cuma toleh kanan kiri, lihat orang lain kemudian baru merasa yakin.
Hal tersebut diperburuk dengan banjir informasi yang lumrah terjadi di era digital. Orang dibombardir ini itu dari segala penjuru sehingga upaya untuk menelusuri informasi mana yang relevan dan akurat dapat menjadi sangat melelahkan, bikin bingung dan apatis. Apalagi banyak perusahaan juga menggunakan teknik marketing dan advertising secara canggih yang menekankan unsur positif produk sambil ngumpetin sisi negatifnya. Ini berdampak pada pemahaman yang bisa keliru terhadap fungsi dan nilai kebenaran sebuah produk. Terlebih banyak produk dan jasa khususnya di bidang teknologi dan keuangan adalah bersifat kompleks. Misalnya tadi soal internet atau asuransi. Tanpa pengetahuan yang khusus, maka buat konsumen kebanyakan memang menjadi menyulitkan untuk memahami semua fitur, risiko atau setidaknya pilihan mana yang terbaik untuk mereka gunakan.
Dengan adanya bentuk informasi asimetris semacam itu, maka sudah pasti ada ketidakseimbangan antara pengetahuan yang dibutuhkan oleh konsumen dibandingkan dengan produsen. Produsen tau betul product knowledge secara detail baik biaya maupun kemampuannya. Misalnya dalam kasus di atas, router bawaan yang disediakan produsen sebenernya barang bapuk dengan kapasitas jangkauan hanya maksimal 10 meter. Tidak semua konsumen mengerti tentang itu. Kalaupun paham, masih ada unsur biaya dan penjelajahan produk baru jika ingin mengganti.
Dapat dilihat bahwa selain unsur pengetahuan, proses keputusan apapun yang dilakukan manusia juga punya bias psikologis. Ada unsur pembuktian sosial seperti toleh kanan kiri, membandingkan punya tetangga. Ada juga gegara suka tidak suka, atau kalo emang dasarnya ogah ya mau dibujuk kayak apa juga susah nggak bakalan mau. Ini termasuk juga brand loyalty yang membuat orang susah berpindah gegara alasan subyektif non rasional. Hal-hal semacam inilah yang juga dimanfaatkan oleh produsen supaya barang dan jasanya laris. Bikin penggemar fanatik.
Jadi jelas kan kenapa konsumen itu suka bebal? meski katanya pinter teredukasi dengan baik, tapi kembali lagi soal pilihan bisa berubah atau malah tertanam gegara aspek yang overload, irasional, subyektif atau di luar perhitungan. Kalo nggak percarya, lihat saja pileg kemarin. Gegara foto konyol, tidak kampanye dan memang dasarnya melawak, bisa terpilih dengan dukungan dua juta suara. Coba bayangin kalo itu jadi produk. Dah pasti laris manis nggak butuh marketing. Uhuy!