Ini pertanyaan yang menggelitik benak saya, gegara baca di Threads soal keluhan perempuan Bali yang baru saja menjanda. Dia mengeluh bahwa kematian suaminya tidak memberi kesempatan dirinya berduka, lantaran segala prosesi mulai dari ngaben hingga ngeroras didominasi oleh keluarga suami. Jadi kebayang yang bersangkutan lelah ini itu.
Opini tersebut direspon lagi dengan respon orang lain yang menyatakan bahwa para suami mereka, orang Bali juga, egois tidak pernah membagi waktu hingga finansial secara adil. Pokoknya para lelaki itu menindas dan perempuan Bali selalu jadi alas. Gitu kira-kira.
Tapi apa iya begitu? Beberapa fakta memang membenarkan. Istri saya yang orang Bali tapi lahir dan gede di Betawi, ogah dan memang tidak diperbolehkan mendapat orang Bali tembak langsung. Orang tua istri saya kuatir jika anaknya diperlakukan tidak adil dalam kultur patriarki yang masih kental.
Itu terbukti ketika istri saya sendirian di pura berpapasan dengan mantan pacarnya yang orang Bali. Si lelaki berusaha ngajak omong, tapi setengah mengusir perempuan di belakangnya untuk ke parkiran dan itu istrinya sendiri. Istri saya yang mengabaikan, membatin untung nggak jadi nikah sama lelaki beginian. Apa jadinya kalo ada di posisi seperti perempuan malang itu?
Saya pribadi juga masih suka terkaget-kaget dengan kultur patriarki yang mendahulukan lelaki dalam hal sekecil apapun. Misal di komunitas, para bapak makan duluan dan dilayani. Saya terbiasa apa-apa bareng dengan pasangan. Jalan juga gandengan. Bahkan memutuskan untuk masuk dan ikut dalam budaya Bali bukan hal sepele. Ada banyak penyesuaian juga, meski seolah dianggap menguntungkan bagi lelaki.
Lantas darimana sebenarnya patriarki itu datang? Tentu saja didikan keluarga. Mau modern atau tradisional, kebiasaan memanjakan dan memprioritaskan anak lelaki malah menjadikan mereka pemalas dan bergantung. Dari keluarga, membentuk kerabat, komunitas, membesar jadi adat. Maka cap jika lelaki Bali pemalas datang dari situ. Tentu saja itu generalisasi, sebagaimana kebiasaan di etnis atau suku lain. Adat bahkan agama kerap jadi pembenaran dua sisi; melegitimasi atau sebaliknya jadi kambing hitam patriarki.
Maka mendidik kesetaraan adalah tanggung jawab besar dipikul bersama dan merata, tidak cuma mengikuti sepotong-sepotong. Misal dalam adat dan agama, suami istri menjalani bareng mulai dari menikah hingga maut memisah. Ada ruang, pengetahuan dan kesempatan untuk itu.
Itu sebabnya kami berdua mewinten dan menjalani status dan fungsi sosial sebagaimana mestinya. Mewinten adalah penegasan bahwa hidup nggak bisa berat sebelah, ada kewajiban bareng, ada yang harus bersama dilakukan antara suami dan istri. Orang lain nggak bisa ikut campur. Semakin tinggi tingkatan mewinten, maka fokus suami istri juga semakin terarah. Itu sebabnya mewinten jadi jero mangku, jero gede bahkan hingga sulinggih atau pedanda adalah fase yang harus ditempuh.
Jangankan di Bali, di Jawa juga patriarki subur namun tidak berkelindan ketat dengan adat. Tapi tetap jadi kebiasaan. Misal dalam keluarga besar pihak ibu saya yang Jawa biru itu, para om dan sepupu laki cenderung dimanja, sekolah pas-pasan, biasa diurus, ngabisin duit doang. Para tante dan misan perempuan jadi sosok tangguh, berkarir, berpendidikan dan jadi tulang punggung. Memang tipikal ternyata kan? Tergantung juga dari didikan keluarga dan tidak semata gegara sistem sosial dan ruang kultur berupa adat bahkan agama.
"Patriarchy is a prison for men as well as women." - Simone de Beauvoir
Maka terlihat dalam budaya patriarki, lelakilah yang sebenarnya merugi. Di permukaan mereka dilayani dan diistimewakan, tapi sesungguhnya perempuan punya peluang untuk menentukan. Meminjam istilah Prof Nur Iman Subono, patriarchy is a paradox of power. Seolah lelaki berkuasa tapi insecure; lemah dan nggak pede. Gitu kata mas Boni.
Jadi ketidakadilan dalam patriarki itu bisa dikikis, seandainya suami istri paham bahwa dalam kultur Bali tetap ada ranah yang berbeda. Kalo cuma ngikutin kebiasaan, kagak kritis, nggak pernah merantau, hidup gitu-gitu doang sudah pasti tak ada yang berubah. Setidaknya cari celah dan melawanlah, nggak cukup hanya sekedar mengeluh, beranilah untuk melawan untuk keluar darl lingkup pengap beratap patriarki. Kalo cuma ngumpulin seribu fakta, tidak akan ada perubahan berarti. Ujungnya ngedumel dan generalisasi bahwa "semua lelaki sama aja". Tapi jika bisa satu perubahan, maka sudah pasti akan punya makna.