Buat mereka yang terbiasa kerja dengan tuntutan profesional, seringkali diterjemahkan dengan membuat pekerjaan tersebut benar-benar bisa diselesaikan dengan sebaik mungkin. Perkaran suka tidak suka, eneg, hingga mau muntah harus dikesampingkan. Urusan klien atau user ngomel, bawel, nunda bayar hingga telat respons atau malah sebaliknya dikit-dikit revisi ya juga harus diabaikan. Terpenting adalah bagaimana bisa beres, rapih, puas dan kalo bisa ngasih kualitas lebih.
Tapi itu soal tuntutan. Sudah pasti orang idealnya terbiasa untuk menjadi obyektif akan hal itu. Bukan malah sebaliknya, menjadi subyektif alias baperan soal kerja. Mungkin niat awalnya adalah memberikan yang terbaik, namun justru malah terobsesi atau terpenjara dengan ide-ide yang dihasilkan sehingga waktu penyelesaian bisa berjalan molor. Alih-alih ingin jadi yang terbaik, tapi justru malah sibuk melingkar dengan banyak hal yang tidak kunjung usai.
Selain itu habitat kerja sudah pasti bukan saja memiliki ukuran profesionalisme dalam penyelesaian, namun orang juga berhadapan dengan situasi sosial yang terbentuk di limgkungan kerja. Ini Endonesah lho sodara-sodara. Situ kalo nggak tegoran, dianggap sombong. Ngomong seperlunya, dikira belagu. Kagak ikut makan siang bareng, dibilang tengil. Apalagi enggan bergunjing, ghibah, gossip seputaran atasan, rekanan, bawahan hingga sekuriti di luar. Ngomongin klien sih udah biasa. Situasi sosial semacam ini terkadang bisa menjadi begitu dominan, sehingga orang lupa bahwa keberadaan mereka di situ adalah sama-sama dibayar untuk melakukan kerja profesional. Tidak lebih.
Maka tidak mengherankan jika ada teman kantor jadi bestie, tapi tau-tau berubah jadi seteru gegara gosip. Belum lagi ribut karena hal-hal nggak penting termasuk macarin satu perusahaan. Itu pun bisa jadi lakik atau bini orang gegara saling curhatan. Masalah personal atau domestik jadi dibawa ke tempat kerja. Ujungnya runyam bingung stress terkejut karena sudah masuk ke dalam pusaran masalah yang diciptakan sendiri. Gimana nggak konyol? Politik kantor yang awalnya dikira high end seperti soal jabatan, fasilitas hingga besaran penghasilan, ternyata jadi low end berupa sakling sikut kagak jelas.
Lantas kenapa bisa begitu? Bisa jadi pada dasarnya kesepian dan nggak punya temen ngobrol. Bisa jadi pula ruang dan waktu seseorang menjadi tersandera oleh kesibukan sehingga kehilangan kesempatan bahwa kemampuan untuk mengembangkan kapasitas sosialnya di luar tempat kerja. Bisa jadi pula kehidupan rutin yang monoton itu sudah menyandera banyak hal. Kegiatan sehari-hari hanya pulang pergi dari kantor ke rumah dan sebaliknya. Nggak punya waktu luang selain akhir pekan. Itu juga paling jadi jatah molor atau hai-hai asu bareng keluarga atau ketemu tetangga. Jenuh? Sudah pasti. Maka ruang waktu yang paling habis digunakan, kenapa nggak sekalian aja jadi bahan hiburan? Demikian pikirnya. Akhirnya sumur kerancuan sosial yang sangat dalam itu sudah tercipta dengan sendirinya.
Jadi seprofesional apapun di dalam kerja, akan punya tantangan tersendiri dalam mengelola situasi sosial yang ada. Memang tidak mudah, apalagi sudah wajar jika dalam relasi supervisial yang tumbuh dalam dunia kerja kompetitif semacam itu membuat orang jadi suka salah kaprah. Salah menilai perkembangan dan motif, salah pula menerka intensi, atensi dan juga habitat yang sebenarnya saling injak menindas. Masa iya? Namanya juga sama-sama dibayar kan. Ada peluang karir, uang, pengalaman dan kesempatan yang ditawarkan kok malah harus diem-diem di pojokan. Maka nggak heran ada saling sikut saling jilat dan saling tendang yang bahkan bisa terang-terangan. Ini bukan lagi soal situ bisa kooperatif atau nggak, tapi bisa patuh loyal atau tidak. Dunia kejam ya boss.
The nine-to-five is one of the greatest atrocities sprung upon mankind. You give your life away to a function that doesn’t interest you. ~Charles Bukowski
Itulah kenyataan ketika manusia memakan sesama alias homo homini lupus. Kesuksesan tidak lagi diukur oleh kualitas tapi seberapa licin orang bisa menyesuaikan diri dalam relasi supervisial semacam itu. Nggak percaya? Lihat saja sewaktu keluar atau pengsiun. Kayak diinget aja. Tapi begitulah dunia kerja. Suka atau tidak, butuh yang namanya kemampuan untuk bisa melampaui situasi yang ada di dalamnya. Jika terjebak atau malah sengaja membuat diri masuk ke pusaran terdalam ya bakal nyesel sendiri. Itu semua mengandaikan bahwa kemampuan kognitif, pengalaman dan kapasitas untuk menyelesaikan tugas adalah sebagian kecil dari yang dibutuhkan dalam dunia profesional. Kemampuan untuk bisa memetakan, membaca situasi dan selamat dari jebakan-jebakan ngehe' adalah jauh lebih diperlukan lagi. Kalo nggak suka menjilat, apalagi menindas ya hindari sebiasa mungkin. Maka nggak heran akhirnya banyak orang bekerja bukan lagi soal iming-iming besaran gaji, tapi lingkungan yang sehat, nggak banyak gaya, serta cukup bisa menenangkan hati. Segitu udah cukup. Nggak perlu nambah masalah. Di rumah aja situ dah mumet kok malah bawa masalah kantor jadi masalah personal? Aneh apa o'on?