Semua orang tentunya pernah berurusan dengan perasaan insekyur alias nggak aman. Sebab insecurity atau ketidakamanan adalah hal klise dan klasik dalam diri manusia. Ada titik waktu atau momentum ketika perasaan berkata bahwa apa yang dihadapi adalah tidak cukup, tidak lengkap dan tidak baik dan tidak pasti. Ketidakamanan semacam itu sudah pasti menghasilkan ragam kecemasan baik tujuan hidup, relasi, serta kemampuan untuk mengelola atau sekurangnya mengontrol situasi tertentu. Ketidakamanan bisa terjadi kapan saja, bahkan dari waktu ke waktu silih berganti bahkan ada juga yang permanen.
Perasaan tidak aman itu meliputi banyak hal. Lucy Mambu, dalam bukunya Breaking Limitations (2021) mengatakan bahwa berdasarkan riset hampir 40% perasaan tidak aman itu datang dari pengalaman masa lalu yang nyata. Pengalaman seperti apa? Ada penolakan, kegagalan, kepahitan hidup yang kemudian membekas dan menghasilkan kecemasan. Bentuk kecemasan itu bisa beragam dalam bentuk keraguan hingga ketidak percayaan diri. Ditambah pula dengan situasi terkini, kemampuan dan juga kapasitas personal yang kemudian bisa menghasilkan agresi, entah kepada diri sendiri atau orang lain. Agresi kepada diri sendiri adalah menyalahkan diri, mendera diri dengan kemungkinan kesalahan yang akan ditanggung, minderan hingga sikap asosial. Menyalahkan orang lain sudah pasti mengatakan bahwa setiap kegagalan atau demotivasi disebabkan pihak luar yang sirik, iri atau dengki. kalu ada ketidakberhasilan, sudah pasti gegara orang lain.
Dapat dilihat bahwa perasaan tentang ketidaknyamanan itu menjadi punya dampak berkali lipat, jauh lebih banyak dari yang disangka. Lantas apa penyebab pastinya? Mengapa orang tidak mampu lepas dari kecemasan yang merugikan diri sendiri bahkan orang lain? Pertama adalah kurangnya rasa percaya diri. Umumnya orang paham bahwa ada situasi yang bisa dikontrol dan ada juga yang tidak. Misalnya saja opini orang jelas nggak bisa dikontrol, sedangkan reaksi terhadap opini bisa dikontrol. Di satu sisi, ada orang yang nggak mampu membedakan itu; mau mengontrol semua atau bahkan mengontrol pendapat orang, tapi dirinya sendiri melepas reaksi secara spontan. Di sisi lain, butuh pengakuan juga dari orang lain bahwa diri ini cukup berharga. Sibuk kasak kusuk untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak seperti yang dibicarakan orang lain. Sibuk dengan lensa kacamata orang tapi, dirinya buta melihat realitas sesungguhnya. Malah jadi overthinking alias kebanyakan mikir nggak perlu.
Kedua, banyak orang yang takut kalo orang lain di luar sana selalu mencari peluang atau kesempatan untuk berbuat curang atau meyalahgunakan kepercayaan yang diberikan. Jujur saja, hal semacam itu bisa terjadi kapan saja dan oleh siapa saja. lantas mengapa harus takut? Sebab buat mereka ketakutan semacam itu disebabkan pengalaman masa lalu yang buruk. Pernah dikhianati, ditolak atau diabaikan tentu saja membuat perasaan takut yang luar biasa jika hal tersebut akan terulang lagi. Dengan demikian, ketiga adalah ketidakmampuan unrtuk menerima. Perasaan ketidaknyamanan jelas adalah self defence mechanism yang digunakan ketika orang enggan menerima kenyataan baik situasi, orang lain bahkan diri sendiri. Hanya saja mekanisme seperti itu bagai pisau bermata dua, khususnya ketika mengacu kepada tanggung jawab terhadap seperti apa jalan hidup yang diinginkan. Sebab sukses adalah kata kunci yang selalu ingin dipegang erat oleh siapa saja.
“Being different is a revolving door in your life where secure people enter and insecure exit.”~ Shannon L. Alder
Semua orang punya tujuan, ambisi dan mimpi. Ketika sukses yang diinginkan bertambah besar, rasa takut juga semakin besar. Ketidaknyamanan semakin muncul menguasai diri, berdampak hingga kepada orang lain. Apalagi dihadapkan pada realitas masa sekarang; punya hutang yang harus dibayar, punya pekerjaan yang harus dijaga biar periuk nasi tetap ngebul, punya kebutuhan personal yang tetap harus dipenuhi, punya keluarga yang harus dibiayai mulai dari soal makan hingga pendidikan, punya nalar dan keahlian yang tetap harus dipupuk dengan ragam edukasi, punya ruang hidup yang tetap harus dijaga dengan mendapat kesempatan, tapi ujungnya malah sibuk dengan soal reputasi.
Mengapa? Banyak orang yang sebenarnya enggan mengakui bahwa dirinya gagal. Ketidaknyamanan yang ada diboyong dan diputarbalik kepada orang lain. Maka nggak heran jika hidupnya bertambah kacau. Bukan saja hidup personal, tetapi juga relasi, rasa percaya diri, dan sebagainya. Cuma itu jelas nggak bakal terlihat dengan mudah. Ada banyak cara untuk menutupi ketidaknyamanan terutama dengan mengarahkannya kepada pihak lain. Pokoknya gegara elu dah hidup gua jadi gini, begitu katanya. Reputasi jadi penting buat digosok terus, sementara urusan karakter, keahlian, kapasitas dan kemampuan yang harus dipenuhi untuk menghadapi realitas masa sekarang tersebut jadi pupus perlahan.
Ketidaknyamanan jelas bukan soal personal, bahkan soal bisnis pun juga bisa mengalami hal semacam itu. Kecemasan tentang situasi pasar yang terlalu fluktuatif hingga bagaimana bisnis bisa berjalan yang ternyata tidak business as usual. Ancaman terhadap situasi bisa terjadi dalam bentuk apapun. Kecemasan yang dihasilkan jelas lebih besar dan punya dampak lebih luas ketimbang ngurusin perasaan pribadi. Apalagi di dalam bisnis, reputasi juga penting. Akan tetapi pada hakekatnya ya sama saja kan? Lantas bagaimana bisa untuk tidak terlalu cemas? Hal pertama yang harus dilakukan adalah berhenti membanding-bandingkan. Orang yang cemas dan nggak merasa aman, apalagi nyaman adalah karena membandingkan hidupnya dengan orang lain. Melakukan perbaikan hidup jelas dibutuhkan, tapi nggak ada benchmark permanen yang bisa digunakan terutama hidup orang lain. Kayak dah bener aje. Kedua, jangan menyalahkan dan sebaliknya berilah kompensasi terhadap diri dan orang lain. Kalo dulu pernah keliru atau salah, punya pengalaman nggak enak ya wajar. Biarkan. Cukup jadi kaca dan nikmati sebagai masa lalu. Akan tetapi jika sekarang lebih baik dari kemarin, berbanggalah. Ketiga, nggak perlu berkompetisi dengan orang lain. Persaingan terberat dan terbesar adalah dengan diri sendiri. Sibuk melihat orang lain, jelas tidak akan membuat diri kemana-mana. Ngejogrok di situ aja. Maka nggak perlu juga jadi rempong kan? Any fool can criticise, condemn and complain but it takes a lot more strength and self control to be understanding yourself and others.
Kelihatannya gampang ya? Nggak juga kan ternyata. Sukurin.