Dunia perguruan tinggi itu dunia ideal. Orang masuk ke situ dengan segudang harapan. Kini harapannya juga bertambah instan. Pengen cepat lulus dalam waktu sesingkat-singkatnya. Terlebih biaya masuk dan kuliah itu mahal. Maka buat yang demen bolos harus bisa berhitung. Jika dulu teguran hanya diberikan dengan nilai kosong atau mengulang mata kuliah, maka sekarang berikan saja perhitungan bahwa jika sekali tidak masuk kelas berarti menghabiskan sekian ratus ribu atau bahkan juta secara sia-sia. Akan tetapi itu berlaku buat mereka yang biaya kuliahnya didapat dari keringat sendiri. Sudah pasti bergegas tidak ingin menyia-nyiakan. Lain halnya dengan yang dibayarin, baik oleh negara atau kantong orang tua. Bisa jadi beda.
Saking idealnya dunia perguruan tinggi, maka mereka yang masuk ke situ juga bukan saja punya harapan tapi analogi keinginan. Semisal masuk kuliah kehumasan, bakal jadi humas. Masuk hubungan internasional, bakal jadi diplomat. Masuk kedokteran, bakal jadi dokter. Ya memang ilmu menjadi humas, diplomat atau dokter sudah pasti dapat. Tapi analogi itu belum tentu sepadan dengan profesi. Bisa jadi seorang sarjana kedokteran malah milih nggak praktek dan kerja jadi humas, atau mereka yang belajar humas malah kerja jadi pegawai kedutaan, atau malah kuliah hubungan internasional kecebur jadi bandar togel. Siapa tau?
Begitu masuk perguruan tinggi dan jadi mahasiswa, keilmuan yang dibekali pastinya adalah berupa hard skills atau kemampuan spesifik tertentu. Bayangkan jika sebuah perguruan tinggi harus bersaing menjaring peminat, berkompetisi dengan yang lain dan menjajakan keilmuan yang sama. Bukan tidak mungkin semua berlomba menjadikan mahasiswa sebagai produksi massal; cepat lulus dalam jumlah sebanyak-banyaknya dan dibekali hard skills yang serupa. Malah secara terang-terangan mata kuliah atau keahlian yang berkaitan dengan soft skills seperti kemampuan berpikir atau berbahasa dihapus begitu saja. Alasannya, kayak gitu bisa didapat di luar nanti. Ambil kursus juga beres. Jadi output yang dihasilkan bersifat kuantitatif. Cepat lulus biar shift berikutnya cepat terisi dan cuan mengalir rutin. Pabrik? Ya gitu deh.
Untuk biar bisa dibilang agak manusiawi dikit, beberapa perguruan tinggi masih tetap mengisi kemampuan soft skills mahasiwa meski dengan cara yang sebenarnya hanya berubah format. Kalo dulu pake seminar ya sekarang webinar. Isinya? Bisa jadi hanya sebatas yang bisa dikuasai dan diberikan pengajar jaman sekarang seperti soal nilai etika, perilaku, dan isu-isu kontemporer. Bisakah menjembatan kebutuhan mahasiswa dan dunia luar saat mereka lulus nanti? Nggak juga. kesenjangan antara ouput berupa lulusan dan inudtsri atau bisnis masih saja lebar. Gap semacam ini sebenarnya masih bisa dijembatani dengan program magang. Tapi karena nggak pernah dibekali kemampuan untuk bisa membaca, menilai, dan menganalis peluang atau exposures, maka nggak heran jika muncul keluhan. Seorang peserta magang pernah mengeluh jika selama kerja magang kebanyakan hanya disuruh fotokopi atau bikin kopi. Dia nggak pernah paham bahwa mengoperasikan mesin fotokopi, mengenali masalah yang sering muncul, menghubungi teknisi adalah soft skills tersendiri. Dia nggak pernah ngerti kalo bikin kopi dan menyajikan adalah bagian dari interaksi yang harus dibangun, belajar memahami karakter, dan bergaul dalam dinamika politik kantor. Toh selama magang, dirinya tanpa sadar diamati kantor berkaitan dengan softskills tersebut, bukan soal seberapa cepat mengoperasikan mesin, atau kopinya enak atau nggak. Penilaian kolega dan atasan bahkan office boy juga memberikan gambaran seberapa yang bersangkutan punya antusiasme, inisiatif dan bisa berinteraksi dengan baik.
“The most important thing we learn at school is the fact that the most important things can’t be learned at school.” ~ Haruki Murakami
Bisakah hal semacam itu dibaca oleh dunia perguruan tinggi? Jelas tidak. Sebab selain bersifat ideal dan sekaligus instan, kampus cenderung menjejali para calon lulusan dengan hal-hal yang bahkan dianggap menarik secara sensasional tapi belum tentu tepat sasaran. Bikin webinar-webinaran rutin dengan kasih sertipikat serta topik yang seolah mampu menjembatani dunia akademik dengan dunia industri atau kerja, itu jadi biasa banget. Atau malah jadi kayak koran kuning atau media gosip mengangkat isu atau tema seperti politik, seksualitas, lingkungan, pendidikan, bisnis tapi irelevan dan lepas konteks. Kok bisa? Sebab memang tidak punya bayangan tentang kesenjangan tersebut. Apalagi diisi oleh orang-prang yang kompetensinya meragukan. Kalo dosen tetap, ya wajarlah sibuk nggak punya waktu lantaran sekarang ada beban kerja yang harus dipenuhi, laporan anu ono, sertifikasi, harus ngisi itu itu. Sibuk dah pokoknya. Apalagi kalo pengen jadi Guru Besar, beuuh. Maka idealnya, dosen tidak tetap atau luar biasa yang diharapkan bisa memberi dukungan, adalah mereka dari kalangan profesional yang mengajar sebagai pekerjaan sekunder dan diharapkan bisa menjembatani pengetahuan dan pengalaman. Kenyataannya ya tidak demikian. Banyak juga dosen tidak tetap yang cuma gegara kenal dan nyambi, menjadikan ngajar sebagai pekerjaan primer, nggak ada profesi atau pengalaman lain dan mungkin hanya jadi dosen juga di tempat lain. Padahal menjadi dosen tidak tetap atau luar biasa itu punya tuntutan tinggi. Kalau isinya cuma orang yang sekedar ngajar, nggak punya pengalaman buat dibagi, nggak punya nomor induk, hanya menggantungkan dapet kelas buat jadi penghasilan bulanan, ya bahaya banget itu.
Maka menjadi mahasiswa jaman sekarang itu berat. Di satu sisi. pendidikan tinggi secara tidak langsung mendorong aspek kuantitas dengan cepat lulus dan [semoga] cepat cari kerja. Selama proses berlangsung, tekanan menjadi tinggi karena soal biaya, waktu, kualitas yang diharapkan belum tentu berbanding lurus dengan hasil akhir. Di sisi lain, ada tuntutan untuk mengisi celah seperti soft skills dengan upaya yang harus dicari secara mandiri. Dengan kata lain, nggak ada jaminan keberhasilan yang bisa diberikan setelah lulus tapi membuka peluang juga bahwa ada learning yang masih harus tetap dipelajari bahkan ketika sudah meraih jadi diploma atau gelar sarjana. Paling tidak, berkaca dari pengalaman semasa kuliah ada banyak contoh yang bisa dilihat dan tidak untuk ditiru. Toh kuliah dan kampus itu cuma sebentar. Cuma buat senam-senam doang. Selebihnya, pertempuran yang sesungguhnya dimulai di luar sana. Masa' iya senam mulu seumur hidup? Pegel ntar.