Banyak orang tidak sungkan untuk menjadi pemuas bagi orang lain. Istilah kerennya, people pleaser. Kalo ada apa-apa selalu bisa diandalkan. Siap atau tidak, selalu maju ke depan. Nggak diminta pun masih mau ngasih, kalo diminta juga bakal ngasih lebih. Sngkatnya, selalu jadi tampil menyenangkan dan memuaskan orang lain. Bisa jadi nggak berharap banyak selain respons positif. Akan tetapi perilaku semcam itu lama-kelamaan memberatkan sekaligusnya juga membawa keresahan tersendiri.
Mengapa? Pertama, Orang yang menjadi people pleaser biasanya nggak tegaan; nggak bisa nolak kalo diminta sesuatu. Cenderung jadi giver dan pastinya jadi mangsa para takers; orang yang demen dikit-dikit minta. Sekali dua kali didiemin, lama-lama tuman. Awalnya pengen dibantuin buat masalah pribadi, lama-lama bawa urusan sekampung. Mulanya cuma soal kerjaan, besok-besok soal kagak bisa bayar cicilan dan jajan selingkuhan. Oleh karena nggak tega, maka people pleaser cenderung memenuhi permintaan semacam itu. Pegel? Dah pasti. Sebab apa yang dilakukan sadar atau tidak bakal melebihi kemampuan.
Kedua, ketika memenuhi permintaan orang yang tidak ada habisnya maka selain sulit nolak malah jadi ngenes sendiri. Di sini malah ironi; nggak tega sama orang tapi tega sama diri sendiri. Lantas siapa yang mau peduli dengan diri sendiri kalo bukan ego yang bersangkutan? Orang lain ketika puas ya pergi. Diri sendiri udah ngenes, malah masih harus berkutat melawan ketidakpuasan. Ngedumel kagak, makan ati iya. Apalagi jika beranggapan bahwa berbuat baik adalah bentuk positif dan amal yang akan tercatat. Itu urusan lain di luar muka bumi ini. Dengan mengabaikan diri sendiri, maka kepuasan personal yang didapat tidak lain adalah bentuk destruktif yang merugikan diri. Sibuk ngurusin orang lain, diri sendiri keteteran.
Ketiga, memuaskan orang lain dengan selalu berasa siap sedia jika dibutuhkan walau kondisi obyektifnya belum tentu demikian, adalah penyakit halu. Entah karena heroisme, merasa jadi pahlawan meski kesiangan, entah karena perasaan senang bisa menularkan sesuatu yang positif, entah karena nggak tegaan, cepet iba dan gampang dibo'ongin orang maka menjadi people pleaser pada hakekatnya bentuk patologis tersendiri. Sudah jelas bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi, tapi menutup mata dari segala kemungkinan. Termasuk dengan adanya peluang dimanfaatin bahkan diberdayakan secara habis-habisan. Baru setelah melihat bahwa tindakanya juga dapat berdampak kepada orang lain yang ikutan rempong, seharusnya bisa mikir lebih panjang kan?
Oleh karena ketiadaan sikap tegas, maka upaya untuk menyenangkan orang lain bisa selalu jadi salah kaprah dan salah sasaran. Banyak orang yang memang butuh untuk dibantu, tapi belum tentu juga bisa memahami bahwa bantuan adalah sekedar dukungan, bukan sesuatu yang bersifat permanen. Bantuan bersifat insidental atau sesekali, bukan terus menerus. bantuan bertujuan agar bisa memberi semangat dan dukungan, bukan tiang sandaran. Sebab ada banyak orang yang menafsirkan tindakan karitatif adalah untuk jadi sesuatu yang tetap dan diharapkan terus ada. Itu jadi menyenangkan buat mereka yang oportunis, pemalas atau sekedar numpang hidup. Dipamerin gitu? Sudah pasti.
"Charity is injurious unless it helps the recipient to become independent of it." ~John D. Rockefeller, Jr
Jadi dapat dilihat bahwa jika berhenti memuaskan orang lain, sesungguhnya adalah tindakan yang lebih berharga bahkan mungkin jauh lebih bermakna agar orang yang dibantu bisa kemudian menjejak niat sendiri ketimbang menadah tangan terus menerus. Cukup sekali dua kali sehabis itu berhentilah. Diri ini bukan manusia super yang bisa mengerjakan apa saja, sekaligus menelan segalanya dengan mentah. Oleh karena sama-sama cuma orang biasa, nggak perlu juga merasa lebih atau sebaliknya kurang sehingga dikit-dikit butuh bantuan. Nggak ada yang spesial. Toh semua juga ada porsinya masing-masing. Lantas, memuaskan orang lain berarti adalah tindakan sia-sia yang bisa bikin lelah sekaligus secara tidak sehat membuat orang lain jadi ketergantungan. Dah kelihatan nggak ada gunanya kan? Nah, lebih baik kembalikan kepada bagian masing-masing. Udah pada gede ini, kok masih demen disuapin.