Kenapa orang suka bernostalgia, atau dengan kata lain mengenang masa lalu ketika menjejak realitas di masa sekarang? Apa untungnya bernostalgia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap terlontar jika kita melihat ada orang yang begitu gemar melirik ke masa lalu. Misalnya di media sosial pernah tercetus bahwa generasi 90an lebih baik ketimbang generasi sekarang. Dulu masih bisa bebas masih gundu hingga layangan, nggak terpaku dengan gawai. beda dengan sekarang yang dianggap lebih lembek, manja dan tidak punya kesempatan berakrab dengan alam. Tentu saja pendapat semacam itu tidak sepenuhnya benar. Anak generasi 90-an juga punya kecanduan terhadap gadget versi jaman itu semisal main gambaran atau gundu yang dikumpul hingga berkaleng-kaleng. Belum lagi soal lembek dan manja juga sama saja; setiap generasi pasti punya kecengengan versi masing-masing. Dengan demikian tidak ada yang lebih baik satu dengan yang lain. Dulu berlaku sompral, sekarang terpaksa berlagak alim demi citra di depan anak cucu. Bejad ya bejad aja kan?
Kata nostalgia sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno, nostos artinya kepulangan dan algos yang berarti luka atau sakit. Jadi nostalgia secara harafiah adalah rasa sakit karena nggak bisa pulang ke rumah. Kangen lah gitu. Lebih jauh, kegagalan pada masa sekarang sering membuat orang menoleh ke masa lalu kan? Kecenderungan untuk romantik bernostalgia sebenarnya didasari hasrat untuk mengingat dan mengenang yang akan membantu motivasi diri. Motivasi terebut dibutuhkan sebagai penyatu dan pengikat secara emosional, kemudian membandingkannya dengan apa yang dirasa pada saat sekarang. Maka nggak heran jika orang dengan sederhana bahkan terlalu mudah untuk menyimpulkan bahwa masa lalu lebih baik dari masa kini. Masa lalu dianggap memberi ruang lebih bagi peran dan posisi, sedangkan masa kini begitu menyedihkan. Dengan membangun persepsi semacam itu, maka nostalgia sudah menjadi salah kaprah. Alih-alih sebagai penyemangat, nostalgia tidak lebih dari sekarang alat pembanding dan penyesalan. Menyesal bahwa yang terjadi saat ini tidak lebih baik dari dulu. Sehingga orang menjadi semakin romantik nggak karuan dengan alasan 'demi masa lalu'.
Itulah sebabnya orang menjadi malas untuk bernostalgia secara kolektif. Sebab perspektif yang dimiliki sudah jelas tidak kan sama. Contohnya ya reuni sekolah. Itu agak lucu memang. kenangan yang dimiliki sebenarnya paling banter hanya beberapa tahun. Setelah sekian puluh tahun berlalu dan kemudian ketemu, referensi yang digunakan awalnya tidak berubah. Tapi tanpa disadari setiap orang akan menjadi asing satu sama lain. Reuni cuma rame pada perjumpaan pertama dan selanjutnya anyep. Mau kumpul lagi, orang akan cenderung pilih-pilih teman bukan lagi berdasarkan soal refererensi awal tapi apa yang ada saat ini. Oleh karena itu tidaklah aneh jika reuni kemudi hanya jadi ajang pamer keberhasilan, kompetisi ego dan semakin menajamkan perbedaan. Lantas apa guna reuni? Paling banter ya buat kendaraan politik, persilangan taktis kalo ada proyek yang bisa dikerjain bareng, atau minimal makan-makan. Nggak heran pula jika akhirnya yang sering hadir dan aktif itu adalah orang yang dulunya malah tidak populer atau tidak pernah kelihatan gaul di sekolah. Bisa jadi kemudian yang dulunya bengal, terkenal tukang nongkrong malah jadi males kumpul karena pada hakekatnya memang nggak ada guna. Bayangin aja, cuma kenal berapa tahun tapi berasa kayak puluhan tahun akrab ikrib. Puluhan tahun nggak ketemu sih iya.
Bernostalgia juga tidak hanya dalam konteks kolektif seperti reuni. Upaya untuk bisa tetap eksis dan diperhitungkan juga sering menjadi target tertentu bagi mereka yang dikit-dikit romantik melihat masa lalu. "Dulu tuh gue yang bikin itu", "Sewaktu itu pelopornya ya akyuh" atau "Oh itu belasan tahun yang lalu eike yang mulai" adalah beberapa kalimat haus pengakuan atas keberadaan. Kok sampai segitunya? Ya wajarlah, dulu kan bisa jadi seseorang atau sesuatu karena ruang dan waktu yang ada. Sekarang bisa jadi malah gagal, anyep dan tidak diperhitungkan. Tapi gengsi dong kalo sampai kemudian terlupakan. Padahal ketika sudah beda ruang, waktu dan situasi, idealnya orang akan tertantang untuk bisa tetap eksis dengan melakukan banyak hal yang lebih berarti. Berpijak kepada nostalgia paling banter hanya dipahami oleh segelintir orang. Itu pun yang benar-benar paham dan terlibat. Bagaimandengan yang lain? Bisa jadi memang jadi masa bodoh.
"The problem with relying on nostalgia for commentary is that people only remember the good things." ~Richie Benaud
Lantas apakah nostalgia itu salah? Nggaklah, asal dosisnya tepat. Lumayan buat mengharu biru sebentar tapi jangan lupa bahwa ke depan akan lain konteksnya. Memotivasi cukuplah dengan melihat bahwa masa lalu yang indah itu hanyalah sebagai pengingat bahwa ke depan memang tidaklah sama. Jangan sampai kebablasan. apalagi sampe CLBK, Cinta Lapuk Balik Korslet. Masa depan jauh lebih keras, tantangan semakin kompleks dan pastinya orang yang datang akan silih berganti. Berpijak pada masa lalu dan mengagungkannya, membuat orang tidak punya referensi atau rujukan yang tepat untuk bertindak lebih jauh. Apalagi jika yang bersangkutan sama sekali bukan orang cukup gaul, populer dan dikenal berhati baik. Dulu nggak ada bagus-bagusnya jadi temen, sekarang malah dilupain begitu aja. Di masa lalu nggak ada prestasi yang bisa diingat, di masa kini malah sama aja. Malu-maluin kan jadinya.