Buat sebagian orang, berpikir konspiratif adalah cara untuk bisa memahami tapi sekaligus menjelaskan bahwa dunia itu jahat. Selalu ada komplotan atau persekongkolan yang bertujuan mensabotase, menguasai, menghancurkan bahkan memusnahkan manusia lain secara umum. Mulai dari soal UFO, Zionis Yahudi, Amerika, Kadal Buntung, Hantu Blau dan seterusnya. Apa yang diyakini sebagai persekongkolan, persekutuan dan jabat tangan rahasia demi tujuan-tujuan destruktif tadi diyakini punya skenario maha besar. Saking besarnya, orang lain tidak akan bisa paham. Sehingga untuk menyelamatkan umat manusia yang dianggap naif bodoh dan sesat itulah juga harus ada upaya memerangi para konspirator tersebut.
Tapi kenapa sih orang berpikir konspiratif? Mengapa mereka meyakini itu adalah benar? Apa yang melatarbelakanginya? Pertama, memikirkan bahwa ada skenario mahabesar dengan menghubungkan banyak hal dan menarik kesimpulan itu sesungguhnya adalah kerja sia-sia dan melelahkan. Banyak data yang diungkap para pendukung teori konspirasi bersifat parsial, tidak punya kejelasan ilmiah, dan cenderung melakukan generalisasi dan saintifikasi secara berlebihan. Data-data yang bersifat parsial itu kemudian dihubungkan satu sama lain untuk melihat persamaan. Apel dan anggur adalah buah. Oleh karena sama-sama buah, maka apel dan anggur pasti punya relasi dekat. Maka dengan menghubungkan secara umum melalui proses generalisasi, lahirlah cocoklogi. Semuanya harus cocok. Semua yang dianggap punya persamaan, apapun bentuknya adalah informasi yang sah. Tidak ada kebetulan yang berlaku. Harus punya hubungan, meski kadang-kadang terlihat memang dipaksakan. Cocoklogi itulah yang kemudian membuat asumsi-asumsi baru berkembang dan kemudian dirangkai selanjutnya. Contohnya semisal Borobudur adalah ciptaan nabi Sulaiman, Majapahit adalah Kesultanan dan seterusnya. Eh padahal Sulaiman atau Salomon itu nama Yahudi kan? Ntar protes lagi.
Kedua, teori konspirasi yang lahir atas dasar cocoklogi tersebut selalu diposisikan menjadi antitesa terhadap hal apapun. Terus kalo Borobudur dibilang ciptaan nabi Sulaiman, apa maknanya? Tidak lain adalah ekspresi inferior secara psikis soal kebenaran yang harus dikuasai. Maka tidak mengherankan jika para cocoklogers itu rata-rata juga punya masalah psikis entah trauma atau apapun yang bisa jadi belum tuntas. Bermain dengan teori konspirasi bahkan cukup hanya dilakukan dengan overthinking secara terus menerus. Itu tidak lain sebagai eskapisme atau pelarian, hiburan atas hidup yang monoton tidak berkembang, serta secara sadar membuang waktu melewati segala bentuk kepahitan. Jangan-jangan secara tidak sadar ada masalah kejiwaan akut atau kronis yang menggerogoti secara perlahan dan melumpuhkan sehatnya kehidupan sosial yang dimiliki.
Ketiga, ada sisi hitam putih dilematis yang berkembang di antara para penganut teori konspirasi. Di satu sisi mereka mati-matian berusaha membuktikan bahwa ada sesuatu terjadi, tapi di sisi lain mereka menolak bahwa pembuktian semacam, itu harus melewati proses penalaran yang berlaku. Mau berusaha membuat apapun terlihat logis tapi dengan cara yang tidak logis. berarti ada tahapan yang belum tuntas untuk bisa dikatakan sebagai kegiatan yang sesuai dengan kaidah keilmuan. Akan tetapi ini pun kalo diklaim sebagai bagian dari konspirasi, ya percuma aja. Mau ngemeng apa juga bakalan dituduh terlibat atau berupaya menghalangi.
“The main thing that I learned about conspiracy theory, is that conspiracy theorists believe in a conspiracy because that is more comforting. The truth of the world is that it is actually chaotic. The truth is that it is not The Iluminati, or The Jewish Banking Conspiracy, or the Gray Alien Theory. The truth is far more frightening - Nobody is in control. The world is rudderless.” ~Alan Moore
Itulah sebabnya akal dan kehidupan personal yang sehat turut melatarbelakangi kenapa orang jadi berpikir. Para cocoklogers itu tidak mampu mendisain dan kemudian merangkai data pikiran secara sistematis, obyektif dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Buat mereka, ada yang harus dilewati dan langsung diterjang karena unsur sensasinya jauh lebih memukau. Ironisnya, sumber data yang digunakan adalah pseudosains alias abal-abal. Nggak ada istilah data primer, sekunder, tersier atau mana yang harus digunakan dan mana yang tidak. Sekecil apapun dianggap harus punya relevansi. Intinya buat mereka, dunia itu pastinya ada yang mengatur dan menguasai dengan sekongkol dan tidak melibatkan umat manusia yang lebih besar. cara-cara jahat itu harus dihentikan meski cuma duduk manis di depan laptop aja. Gila? Itu mah kalo nggak sadar. Kalo sadar, justru merekalah yang menjadi aktor konspirasi yang selama ini ditakutkan. Asyik memang, tapi ya gitu deh. Apalagi kalo sudah ngajak-ngajak orang lain atau menjauhi semua orang. Mantep.