Ketika masih belia, orang wajar mencari teman sebanyak mungkin. Entah dari mana pun, pertemanan bisa terjadi. Bahkan idealnya tidak terbatas dari lapis pergaulan tertentu saja seperti komunitas, sekolah atau lingkungan sekitar. Semakin banyak teman, semakin baik. Orang jadi punya wawasan dan perspektif yang berbeda dan meluas. Tidak saja karena bergaul dari berbagai kalangan, tetapi juga usia, profesi, gender, ras, etnis, agama, bahkan habitat yang berbeda. Selain memperluas wawasan dan perspektif sehingga tidak cepat menghakimi sesuatu, pergaulan di usia muda juga bertujuan untuk mencari dan memperkuat lingkaran-lingkaran pertemanan yang dianggap cocok, mutual, bisa saling mengembangkan kualitas masing-masing.
Itulah sebabnya lama-kelamaan ketika orang semakin menua, maka lingkaran pertemanan menjadi menyusut. Pertemanan tidak lagi sebatas soal berapa banyak jumlah teman, tetapi seberapa kualitas teman yang berbanding lurus dengan kualitas diri sendiri. Artinya, jika seseorang berhasil mengembangkan dirinya menjadi sosok yang bermutu baik, peduli dan memiliki empati terhadap orang lain, ringan membantu, dan dapat diandalkan, maka lingkungannya pun bisa diharapkan setara dengan apa yang ada di dalam dirinya. Maka ada pameo, kawanan bebek kumpul bareng bebek dan elang terbang bersama elang. Bebek nggak bisa bareng sama elang, begitu juga sebaliknya. Orang yang dapat dikenal karena kebaikannya dengan serta merta akan mudah bergaul dengan mereka yang punya sifat sama. Mereka yang hanya gemar memanfaatkan situasi, oportunis, minim empati dan hanya peduli terhadap kepentingan pribadi sudah pasti akan mudah menemukan orang yang sama dan dijauhi oleh yang bertolak belakang.
Lingkaran pertemanan yang ada idealnya akan terus semakin menyusut secara jumlah, namun meningkat dalam perihal kualitas. Apalagi jika sudah memasuki paruh baya; orang akan cepat dan mudah mengidentifikasi diri apakah bisa sesuai dengan lingkungan atau habitat yang dihadapi. Proses seleksi bukanlagi dari soal pilih memilih secara personal, melainkan karena alamiah. Jika nggak cocok ya lebih baik menghindar dan menjauh ketimbang masih berusaha mendekat yang sudah pasti nggak ada gunanya. Maka mereka yang sudah bersahabat sejak lama, biasanya karena dua hal. Entah karena sudah terbiasa dan tau karakter masing-masing termasuk yang baik dan buruk, atau memang karena nggak punya pilihan lain sehingga itu lagi itu lagi.
Jadi pertemanan lama kelamaan juga semakin memperlihatkan kualitas diri masing-masing. Nggak ada lagi ribut soal nggak penting, egoisme, drama dan juga parasit yang menyebalkan. Tapi apakah hal yang ideal tersebut gampang terwujud? Ternyata tidak juga. Sebab yang namanya karakter saja nggak bisa ditebak, apalagi kepentingan yang kerap juga biasanya muncul sesaat. Mereka yang sudah lama bergaul bertahun-tahun pun butuh waktu untuk bisa melihat dan memahami karakter orang lain, terlepas seberapa intensitas komunikasi yang dilakukan. Nah, bayangkan saja soal kepentingan. Banyak orang menyembunyikan agenda dibalik gengsi, arogansi dan keterbatasan yang tidak ingin diketahui orang lain. Mereka melihat bahwa hal semacam itu tidak lebih dari kelemahan yang harus ditutupi. Maka perilaku seperti matre, sok berpunya, pengen dianggap pintar atau berpengaruh muncul sebagai upaya untuk menututpi.
Lantas mengapa orang tidak bisa tampil adanya? Mengapa itu dianggap memalukan? Perilaku semacam itu memiliki kontribusi besar dari bagaimana sejak belia dididik untuk membatasi diri, memilih teman, ada aturan yang membelenggu soal pilihan dan ujungnya memang menjadi gagap untuk urusan berkawan secara bebas dan bertanggungjawab. Self entitlement yang dibangun sejak kecil membuat seseorang merasa lebih dari yang lain, sehingga setiap relasi yang muncul menjadi bentuk kompetitif tersendiri. Konsekuensinya adalah jelas memandang orang lain sebagai rival dan tidak ada interaksi yang bersifat setara. Jadi bayangkan saja, jika sejak muda pergaulan terbatas, hanya itu-itu saja, tapi kemudian masuk dalam lingkungan yang jauh lebih plural. Maka penolakan itu akan muncul dari diri sendiri. Ini bukan saja gegar budaya, tetapi juga gegar psikologis ketika berhadapan dengan orang yang jauh berbeda. Maka jangan heran kalo ada orang yang bisa mengklaim kenal tokoh anu itu, tapi ujungnya kicep minder ketika disuruh membuktikan. Atau sebaliknya, pengen dikenal jadi sosok yang populer tapi mainnya cuma di lingkaran yang sama.
Jadi jangan pernah kecil hati ketika semakin uzur, teman jadi semakin terbatas. Itu pertanda bagus karena pada akhirnya orang akan menemukan kawanannya masing-masing. Dalam konteks itu, tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Baik ayam maupun elang hidup dalam habitat masing-masing. Maka ada pameo ketika orang kaya akan bergaul dengan yang kaya, sesama miskin hidup dengan miskin. Kelas atas bersama yang atas, kelas bawah kumpul di bawah. Ini tentunya bukan soal diskriminasi, melainkan secara sosio kultural pergaulan itu sudah ditentukan sejak awal entah karena habitat yang dimasuki, atau juga karena keputusan-keputusan personal yang diambil. Kalo mau sukses, setidaknya punya relasi dan perkawanan dengan mereka yang dianggap sukses. Kalo mau terpandang, tentunya lingkungan yang dimasuki juga menentukan. Itu sama kalo mau ajdi rampok, masa bergaulnya sama copet? Sudah pasti jika jadi yang terbaik sekalipun maka tetap saja copet.
"Light attracts light. But sometimes your light attracts moths and your warmth attracts parasites. Protect your space and energy." ~Warsan Shire