Dulu orang mengenal peribahasa 'besar pasak daripada tiang'. Artinya adalah lebih pengeluaran daripada pendapatan. Tujuan peribahasa itu adalah mengingatkan agar orang berhati-hati dalam soal spending alias pengeluaran supaya tidak terjebak dengan pola konsumtif berlebihan yang sulit ditanggung. Akibatnya sudah jelas; terjebak hutang dan membuat perhitungan keuangan menjadi sia-sia.
Tapi peribahasa itu mendadak jadi klise. Bahkan sekarang dianggap nggak guna. Pertama, orang sudah tentu tau kalo keluar duit nggak boleh melebihi apa yang dipunya. Kalo bisa berlebih untuk disisihkan dan ditabung. Ditabung? Jaman gini mana ada yang nabung, apalagi di bank. Potongan, biaya admin dan pajaknya saja sudah lebih besar dari bunga. Beda dengan jaman Orde Baru dulu saat pemerintah mendorong masyarakat untuk menabung melalui Tabanas. Sebab saat itu rezim Suharto butuh duit dan untuk jadi bapak Pembangunan sudah pasti butuh dana yang termudah adalah meminjamnya lewat publik. Orang diiming-imingi dengan bunga hingga pada tahun 1997 runtuh juga. Jadi menabung di masa sekarang adalah kisah konyol kecuali kalo masih mau dimakan rayap atau duitnya lupa ditukar dengan edisi baru hingga tak ada nilai.
Kedua, untuk menghabiskan uang yang dimiliki konsumen maka produsen tak sungkan untuk menggunakan segala cara agar pembelian bisa meningkat. Tidak cukup hanya dengan iklan, distribusi atau ketersediaan. Tidak cukup pula dengan promo, bonus, diskon dan "beli dua dapat tas cantik", tapi juga soal pembayaran menjadi dipermudah. Maka tidak mengherankan jika dengan banyaknya alternatif seandainya calon pembeli tidak pegang uang kontan. Mulai dari beragam bentuk cicilan hingga servis lain yang bisa diberikan untuk membuat konsumen jadi yakin bahwa semakin mahal maka semakin layak dibeli. Itulah sebabnya, banyak barang yang dengan harga sulit diterima dalam perhitungan akal sehat untuk kesanggupan membayar kontan, kemudian bisa dibeli dam dimiliki dengan alternatif dan skema yang ditawarkan. Itu baru satu lho. Belum lagi timbul keinginan yang bisa diwujudkan dengan segera untuk memiliki yang lain.
Ketiga, dengan demikian pola konsumsi menjadi semakin berkembang dan berubah. Tidak lagi mengandalkan uang kontan, tidak lagi menggunakan perhitungan yang rasional. Betapa tidak, orang membeli bukan lagi karena butuh, tapi karena kepengen. Pengen punya aja, makenya pun juga belum tentu tau atau bahkan hanya sekedar ditimbun. Orang tidak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan angan. Beli barang mahal agar bisa diakui dan identik dengan fungsinya, padahal secara kenyataan belum tentu berdaya guna atau malah hanya jadi pajangan. Semisal beli kamera mahal. Apakah fotografer profesional? Belum tentu. Tapi kalo jadi kelihatan digunakan dan terlihat di dalam media sosial, maka identik dengan gaya seorang fotografer.
“Spending money to show people how much money you have is the fastest way to have less money.” ~Morgan Housel, The Psychology of Money
Sialnya, produsen sangat jeli urusan begituan. Mengangkat nilai lebih hingga menjadi berlebihan adalah tugas mereka agar orang bukan saja membeli atau memiliki, tapi ada dependensi atau ketergantungan yang dibuat. Ketergantungan itu bukan saja bentuk individu dalam arti kepemilikan tapi juga knowledge soal produk yang menjadi hal mutlak untuk dikuasai. Maka nggak heran konsumen yang loyal bisa jauh lebih pinter dari sales barang itu sendiri. Cukup? Tentu tidak. Lebih dari sekedar individu, produsen juga jeli membangun ruang sosial yang efektif seperti komunitas penggemar, event, bahkan acara kolektif komunal untuk membuat orang lebih dari sekedar memiliki. Gimana nggak seneng kalo diakui sebagai fans berat, kelas premium, vvip, bahkan punya akses lebih ketimbang pembeli biasa? Seandainya udah bangkrut dan bokek pun, kebanggaan iotu masih tersisa.
Jadi kalo ada yang bilang, "untung saya nggak kayak gitu" ya bullshit aja. Coba tengok jenis konsumsi apa yang melekat dan mampir ke badan, atau digunakan, atau masih ada di tangan. Sedikitnya, akan ada definisi yang serupa bukan saja sebagai pembeli biasa, tapi orang yang rela keluar duit berapa pun juga demi benda itu. Oleh karena pola konsumsi dan pembelian sudah berubah drastias, maka tidak mengherankan jika pasak semakin besar dan belum tentu ada tiangnya. Lucu kan?