Banyak yang bilang ini jaman susah. Apalagi tahun depan yang konon katanya bakal lebih berat. Ada potensi untuk stagflasi; harga naik dan barang konsumsi nggak beli, hingga depresi ekonomi berkepanjangan. Tapi yang terberat sejak dulu hingga sekarang adalah begitu banyak informasi yang simpang siur dan tumpang tindih mengenai ekspektasi di masa mendatang, yang justru membuat orang semakin takut. Betapa tidak, banyak cerita, data dan fakta yang dirangkai sedemikian menarik perhatian hanya untuk membuat orang menjadi berpikir ulang. Tidak hanya itu, sebagian membayangkan betapa sulitnya situasi sekarang, apalagi nanti. Cerita soal suku bunga naik, bunga bank naik, cicilan bertambah sehingga sudah membuat pusing lebih dahulu.
Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana mencermati semua cerita yang beredar, sekaligus menyiapkan diri untuk berbagai situasi mulai dari yang terbaik hingga terburuk. Okelah bunga bank naik dan cicilan bertambah? Berapa banyak, bisa jadi hanya dua persen atau duaratus ribu. Akan tetapi impresi yang muncul seolah sudah berjuta-juta saja. Maka mencermati itu penting jadinya. Menyaring semua informasi dan mengolahnya ulang adalah sebuah keharusan. Ini adalah pola pikir yang harus dibentuk meski awalnya tidak biasa. Sebab mereka yang menelan mentah-mentah sudah pasti akan membuat output berupa keputusan yang gegabah.
Demikian halnya dengan menyiapkan diri adalah membentuk cara pandang bahwa apa yang akan terjadi adalah tantangan dan bukan hambatan. Di dalam dunia bisnis, itu adalah kacamata yang lumrah. Setiap hal yang menurut orang awam adalah obstacles atau sandungan, ternyata dilihat sebagai challenges atau tantangan. Mengapa demikian? Dengan melihat sebagai tantangan, maka orang akan terpicu dan terpacu buat menyelesaikan. Sebaliknya, mereka yang melihat sebagai hambatan akan cenderung menghindar. Bayangkan jika dikit-dikit menghindar atau ngeles, sementara hal yang hadapi dan dilihat sebagai masalah akan terus menggunung.
Jadi menyiapkan diri selanjutnya adalah menyusun atau membentuk kondisi yang sekiranya akan menguntungkan di masa depan. Okelah tidak ada yang tau pasti, terlebih ketidakpastian semakin menguat di jaman begini. Tapi tidak ada salahnya untuk misalnya mencoba mencari peluang, memperluas jejaring, memanfaatkan modal sosial yang ada, sampai kemudian sanggup untuk berpindah atau shifting dengan cepat ketika situasi memburuk. Itulah yang disebut dengan agility atau keluwesan. Sebab masih banyak orang yang secara kaku menafsirkan perjalanan hidup. Hanya di situ-situ aja, komunitas homogen, nggak pernah kenal atau bergaul di luar habitatnya, membuat segala sesuatu menjadi nyaman, dan kemudian baru berasa ketika semua rontok satu per satu.
“Bad times have a scientific value. These are occasions a good learner would not miss.” ~Ralph Waldo Emerson
Pandemi kemarin sudah mengajarkan banyak tentang hal itu. Ketika tekanan menjadi-jadi, ada yang masih sanggup bertahan, ada yang berubah dan ada pula yang menghindar. Tekanan itu sebenarnya perlu. Dengan tekanan, orang menjadi terpicu dan terpacu untuk mencari solusi bahkan dengan jalan yang tidak biasa. Malu nggak ada di dalam kamus. Dalam situasi yang menuntut harus bisa survive, sudah pasti apapun bisa dilakukan selama tidak merugikan orang lain. Akan tetapi yang menghindar juga banyak. Pura-pura seolah nggak terjadi apa-apa. Pola bertahan yang digunakan bukan karena tau harus memperkuat diri, tapi karena gengsi dan bingung mau apa lagi.
Jadi, nggak perlu takut apalagi malu menghadapi ketidakpastian. Di satu sisi orang harus tetap optimis untuk terus berharap bahwa situasi akan membaik. Tidak ada krisis yang yang merugikan semua. Ada yang buntung, ada juga yang untung. Di sisi lain harus bisa juga untuk menjaga skeptisisme atau kewaspadaan bahwa apa yang ditawarkan juga belum tentu berdaya guna atau bahkan menghasilkan. Berhati-hati perlu, tapi tetap terus melangkah. Jika cuma duduk diem mending tidur aja, berharap semua baek-baek dan ikut juga kecipratan. Ngandelin orang? Dah nggak jaman.