Orang bilang musuh terbesar itu ego alias diri sendiri. Pendapat semacam ini ada benarnya, ada juga tidak. Sebab di satu sisi orang memang butuh ego, sebagai sebuah manifestasi diri berkaitan dengan keberadaan, kegunaan atau tujuan hidup. Orang yang nggak punya ego, ibarat keset di pintu depan rumah; cuma diem aja kalo diinjak. Terlalu empuk juga. Jadi nggak punya daya. Diem aja ikutin arus. Padahal ikut arus itu cuma tokai. Tapi di sisi lain, ego juga bisa memuncak. Dikit-dikit kesinggung, marah, baper, sensi seolah cuma dirinya saja yang menjadi pusat semesta. Maka ada istilah ego sentris. Apapun yang ada di sekitarnya, dipandang hanya untuk memuaskan diri.
Lantas apa iya dengan begitu orang harus memilih? Atau ambil jalan tengah? Jika terlalu berat kepada salah satu, maka hasilnya sama saja. Melepas ego di tengah riuhnya dunia yang begitu kejam adalah sama dengan membiarkan diri dimangsa buruk gagak. Selalu jadi korban buat orang lain. Memegang ego erat-erat adalah sama dengan harimau yang selalu kelaparan di tengah sawah. Nggak ada sesuatu yang memuaskan dirinya. Salah satu contoh melepas ego adalah dengan bersikap selalu nggak tegaan, terlalu jujur polos rada o'on, atau menganggap bawa seluruh isi dunia adalah penuh dengan kebaikan. Demikian pula dengan ego yang terlalu besar meloncat-loncat dari genggaman. Tidak pernah memandang kebaikan orang, selalu memberi prioritas pada diri sendiri dan nggak puas dengan apa yang didapat.
Itulah sebabnya orang tetap harus memelihara ego. Tentu saja ego harus bisa membaca situasi, menyadari kondisi dan tunduk kepada kepentingan mana yang harus didahulukan. Dengan demikian mengelola atau mengontrol ego butuh banyak pertimbangan tapi harus dilakukan secara cepat. Artinya, harus ada kemampuan untuk bisa menentukan apakah pilihan atau tindakan yang dibuat, setidaknya tidak merugikan diri sendiri serta semaksimal mungkin dan sekaligus punya makna termasuk untuk orang lain. Contohnya adalah ketika orang punya duit atas jerih payahnya, maka sudah sewajarnya ia menikmati hasil. Ketika kebutuhannya terpenuhi secara proporsional, maka ia bisa berpikir untuk bisa berbagi kepada orang lain. Orang yang egois nggak akan pernah berpikir demikian. Lebih enak makan sendiri, kalo bisa makan orang lain. Kalo bisa malah dikasih ketimbang memberi. Sedangkan orang yang tak memikirkan diri sendiri dan selalu berkorban buat orang lain juga konyol. Sejauh mana ia bisa bertahan dan mengupayakan buat sesama, jika dirinya sendiri tidak diperhatikan?
"Whenever I climb I am followed by a dog called 'Ego'." ~Friedrich Nietzsche
Jadi ego adalah mirip seperti pasir. Harus bisa ditampung dengan dua tangan agar maksimal. Menggenggam erat justru membuatnya berhamburan. Menerima dengan satu tangan terbuka juga sia-sia. Ego mengajarkan kepada manusia bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan jika pemenuhan terhadap kebutuhan personal sudah dilakukan. Dengan kata lain, hidup harus bisa mengembangkan dan menuntaskan diri, baru kemudian menolong sesama. Tidak ada pahlawan kesiangan, tidak ada juga penjahat yang demen makan orang lain. Tentu saja pertimbangan semacam itu butuh latihan. kemampuan pikir dan berani ambil tindakan. Sebab ego nggak bisa ditunggu hanya dengan ngomong doang yang tidak berarti apa-apa. Memberi makan ego adalah perlu, tanpa membuatnya muntah kekenyangan. Memaksa ego kelaparan malah akan memunculkan masalah lain, seperti diam-diam jadi timbul keangkuhan yang sebelas duabelas identik dengan kerakusan kalo terlalu kenyang. Sama aja kan?