Kasus perundungan atau bullying pada anak dan remaja semakin meningkat belakangan ini. Berita terakhir membuat orang jadi berpikir serius, apakah konsekuensi dan risikonya sedemikian tinggi? TIdak saja korban sampai masuk rumah sakit, tapi masa depan pelaku juga tidak pasti karena di keluarkan dari sekolah. Suka atau tidak, urusan yang menyangkut masa depan seseorang jika dilihat dari latar belakangnya tentu akan membuat orang tidak mudah menilai begitu saja.
Dalam kasus perundungan terhadap anak dan remaja, ada dua faktor penting yang perlu disorot. Pertama adalah pernyataan bahwa perundungan bukanlah sesuatu yang baru, Sejak puluhan tahun dalam sejarah pendidikan di Indonesia, itu selalu terjadi. Hanya saja yang membedakan adalah bagaimana publik menyikapi hal tersebut. Ada masa ketika perundungan dalam batas tertentu dianggap normal dan perlu dikoreksi longgar, ada juga waktu ketika gesekan terkecil pun dianggap sebagai sesuatu yang serius dan perlu dijauhi. Jika pernah mendengar kasus Arie Hanggara yang terjadi tahun 1984, maka perundungan dan kekerasan tidak saja terjadi di sekolah tetapi juga di rumah.
Berkaitan dengan itu, maka perlu diketahui apa yang melatar belakangi terjadinya perundungan. Pertama, adalah power play dan pembelajaran dinamika sosial. Ketika seorang anak masuk dan bergaul dalam sebuah lingkungan, akan ada pengamatan terhadap siapa yang lebih besar, lebih kecil, lebih kuat atau lebih lemah. Menguasai dan dikuasai adalah bagian dari pengetahuan dan tentu akan baik jika dikaitkan dengan kebersamaan melalui negosiasi dan diplomasi. Akan tetapi, di usia sangat muda tentu saja rasionalitas belum kuat bermain. Pada fase itu, kebiasaan meniru atau mimikri adalah cara beradaptasi yang paling mudah untuk dilakukan. Apalagi ada media sosial bukan? Bayangkan jika yang ditiru itu adalah sesuatu yang diluar nalar bocah, didapat dari lingkungan yang tidak sehat tidak saja di sekolah tetapi juga bahkan di rumah. Akibatnya, agresi dan kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang wajar untuk dilakukan.
Kedua, ketika meniru menjadi sebuah kebiasaan yang ditanam tanpa refleksi kemampuan berpikir dan dialog dengan orang tua secara terbuka, maka tekanan kelompok (peer pressure) akan membuat anak tersebut menjadi minim empati. Fenomena seperti ini sudah berlangsung selama beberapa generasi. Contoh sederhana, darimanakah mayoritas kita tau soal seksualitas? Tentu saja dari kelompok pergaulan, bukan dari rumah atau orang tua. Pembelajaran soal seksualitas seperti tubuh pun akhirnya juga karena teman-teman. Merekalah yang menjadi bagian dari dialog dan diskusi karena tidak ada perasaan harus malu, tertutup atau cemas dibandingkan obrolan dengan orang tua. Sebuah riset yang pernah saya kembangkan belasan tahun juga memperlihatkan bahwa awal dari preferensi seksual yang berbeda memiliki kontribusi utama yakni perhatian dan kontrol orang tua di rumah yang terlalu dingin, terlalu ketat atau bahkan terlalu longgar. AKan tetapi ketika hasilnya dipresentasi, tanggapan duania akademik mengecewakan. Siapa anaknya? Apa yang bisa kita bantu? Yaelah boss, ini soal sistemik, bukan orang per orang. Terus kalo tau siapa, apa bisa situ tidak cuma bergunjing?
“One's dignity may be assaulted, vandalized and cruelly mocked, but it can never be taken away unless it is surrendered.” ~Michael J. Fox
Perundungan juga semakin kompleks ditambah dengan isu personal seperti rasa rendah diri, masalah keluarga, nilai yang jelek dan kurang perhatian baik dari sisi pelaku, maupun korban. Bahkan soal lapar pun bisa membuat siapa saja jadi beringas. Oleh karenanya, dinamika power play menjadi tidak berjalan sehat, interaksi dan pembelajaran sosial juga menjadi keliru. Jangankan soal kekerasan atau seksualitas, pemahaman tentang nilai sosial, moral dan etika pun menjadi bergeser. Melahirkan generasi yang sakit dan kemudian mewariskannya kepada generasi berikutnya. Lantas bagaimana cara mengatasinya? Kta semua tau bahwa menghadapi situasi perundungan bukan lagi soal kasuistik. Perundungan adalah sebuah patologi sosial yang sudah menjangkiti tanpa sadar ibarat kanker bagi generasi. Tentu saja intervensi sosial dan kontrol adalah cara yang terbaik. Hanya saja perlu diingat bahwa menghadapi generasi yang lebih mudah dan mau belajar hidup dengan pikiran sehat, adalah ibarat memegang segenggam pasir. Terlalu erat menggenggam atau dilepas begitu saja, anda nggak pernah mendapatkannya kembali.