Salah satu perilaku yang sering dihindari orang di dalam hidup adalah menjadi boros. Punya pengeluaran yang acapkali lebih besar dari penghasilan, beli barang yang nggak guna secara impulsif atau spontan, kalo pun dah dibeli ya nggak dipake alias ditumpuk dan terlupakan. Sikap boros bisa juga diperlihatkan dengan spending yang nggak perlu, dalam arti hanya untuk menyenangkan orang lain. Istilahnya royal dalam pengeluaran. Traktir nganu ngono, kemana-mana maunya serba mewah bahkan kalo perlu ujungnya ngutang lewat paylater atau minjem pinjol. Kalo sudah begitu, ujungnya pasti kesulitan. Cicilan menumpuk, resiko telat bayar dan akhirnya nggak tenang dikejar-kejar debt collector.
Memang sih, siapa pun juga harus mampu ngatur pemasukan dan pengeluaran. Idealnya apa yang didapat harus lebih besar dari apa yang mau dikeluarkan. Jangan sampai lebih besar pasak dari tiang. Nah, apakah semudah itu? Jelas tidak. Buat yang punya pendapatan tetap seperti pegawai atau karyawan saja masih harus cari tambahan biar berasa aman. Ini bukan semata cukup. Kalo soal cukup, semua bisa bisa dicukupin kan? Apalagi mereka yang mencari duit dari bisnis, kerja kontrak atau cuma dibayar per project per kegiatan. Harus benar-benar bisa sangat lebih dari cukup terlebih dahulu, karena belum tentu ke depannya bakal ada lagi yang sama. Sudah pasti mereka yang paling keringetan adalah per kegiatan dan dibayar sedikit. Hanya bisa untuk kebutuhan sehari-hari. Kalo ada yang lain, terpaksa kerja di lain tempat.
Lantas apakah dengan demikian orang harus benar-benar berhemat bahkan sampai dibatasi seumur hidupnya dengan kebutuhan dasar belaka? Biar bagaimana, kita adalah homo ludens yakni makhluk atau tepatnya manusia yang bermain. Kita berhak menikmati kesenangan dalam bentuk yang paling sesederhana sekali pun mesti itu hanya secangkir kopi atau sebatang rokok. Wajar menikmati hiburan meski cuma nontong gratisan atau jalan-jalan sebentar keluar rumah. Nggak masalah jika harus mengeluarkan biaya untuk menyenangkan hati, menghibur diri dan keluar dari rutinitas sesaat. Jadi kalo mau blanja-blanje, beli ini itu yang sesekali dianggap menyimpang dari rutinitas ya nggak masalah. Terlebih jika orang punya hobi. Itu penting biar jiwanya tetap sehat dan pikiran nggak rusuh kemana-mana. Hobi sudah pasti pake duit. Mau hobi lari ya tetap aja beli sepatu. Sepatu yang agak mahal dikit gapapalah karena ada harga ada rupa dan kualitas. Dengan berlari pake sepatu yang mahal dan nyaman, orang bukan saja menikmati benefit dari lari. Ia juga bisa pede, bangga dan menikmati hobinya.
Jadi boros semacam itu malah diperlukan. Jangan menjadi nyinyir jika melihat orang seolah ngabisin waktu ngopi di kafe. Jika itu rutin dilakukan, biasanya sudah bagian dari kerjaan seperti sales yang janjian dengan customer, marketer yang lagi presentasi atau bahkan kolnsultan ketemu klien. Jika tidak rutin, maka itu anggaplah mencari suasana baru. Sebab ada juga orang yang membatasi diri atau bahkan dibatasi untuk tidak menyentuh tempat semacam itu. Boros duit katanya. Padahal selain sedikit hiburan duduk nongkrong, ada kalanya peluang bisa datang menghampiri dalam suasana yang lebih relaks ketimbang introduction meeting di kantor. Jangan pula kemudian mengatakan bahwa boros adalah berlebihan. Sama saja ketika melihat orang merokok dan menasehati jika ia berhenti beli rokok maka bisa nabung beli mobil. Buat sebagian orang, merokok juga adalah katarsis atau pelepasan. Sama halnya dengan minum alkohol. Nggak bagus? Memang. Tapi perdebatannya bukan dari soal kesehatan melainkan keuangan. Jika dilakukan secara tidak rutin seperti social smoker atau drinker, ya biarkan selama nggak minta bagik dan beli pake duit sendiri. Toh bisa tanya balik sama yang nyinyir, dengan tidak merokok atau minum seumur hidup maka sudah berapa mobil yang terbeli? Nah!
“People who are good at complaining about not having a lot of money are generally bad at not wasting money.”
~ Mokokoma Mokhonoana
Jadi kepuasan atau kesenangan manusia itu sifatnya subyektif. Setiap orang punya cara masing-masing. Setiap orang juga berhak untuk punya pengeluaran ekstra baik dari sisi waktu, tenaga, ruang dan tentunya finansial untuk membuat dirinya puas dan senang. Boros adalah untuk hidup; menikmati apapun selama nafas masih ada, dengan daya upaya yang dimiliki. Mau spontan, dadakan atau nggak sengaja, nggak masalah. Bukan malah sebaliknya, hidup untuk boros. Ketika kebiasaan impulsif sudah berubah menjadi terencana dalam bayar cicilan bulanan maka hidup sudah tidak lagi menyenangkan. Iye kan?