Belakangan ini, publik semakin berdecap kagum semisal ada berita tentang orang yang menyelesaikan pendidikannya dalam waktu tercepat, terbaik dan termuda. Sudah ada berita yang mengambarkan pencapaian semacam itu. Gimana nggak keren? Menyelesaikan sekolah atau kuliah dengan waktu sebentar. Orang lain normalnya butuh beberapa tahun dia lebih singkat. Nilainya pun di atas rata-rata bahkan ada juga yang sempurna. Dirinya sendiri lebih muda dibandingkan teman-teman. Semisal orang lulus kuliah memasuki usia dewasa, dirinya masih kategori remaja yang seusianya bisa jadi masih demen nongkrong ngabisin duit orang tua.
Pertanyaan penting yang kadang muncul, apakah sebenarnya perlu pencapaian semacam itu? Buat apa lulus cepat? Kalo dipikir-pikir ya tergantung motif dan latar belakang juga. Jika masih dibiayai orang tua, sudah pasti lulus cepat itu melegakan. Bayangin, aja, sekolah dan kuliah yang mengandalkan duit emak bapak emang bikin pegel. Bisa jadi investasi nggak guna, kalo disia-siakan. udah males-malesan, sering bolos, mengulang pula. Sebab nggak mikir bahwa setiap tindakan mengejar kesenangan dan melupakan tanggung jawab semacam itu selalu punya resiko finansial. Nggak usah ngomong soal berbakti dan berbudi dulu deh. Duit terbakar sia-sia. Senang? Namanya juga masih nadah tangan, ya mana peduli. Selain itu, lulus cepat bahkan terlalu cepat memang prestisius. Bisa jadi bahan pembicaraan, bisa jadi omongan. Lagi-lagi oleh orang tua. Bargaining position jadi tambah naik. Keberhasilan bukan semata milik si anak tapi juga yang bayarin. Sebab nyekolahin atau nguliahin anak di jaman gini jadi privilese yang tambah mahal. Nggak semua mampu. Ada juga yang terpaksa ngebiarin anaknya ngeblangsak cuma sampe sekolah menengah. beruntung kalo pinter dan bisa cari beasiswa. Kalo kagak, ya mentok aja jadi lingkaran setan entah kemiskinan ekonomi atau sosial.
Sekarang pertanyaan itu dibalik, gimana kalo lulus cepat itu nggak perlu? Ada benarnya juga. Pertama, kesiapan mental anak yang bersangkutan. Suka atau tidak, 95% lulusan terserap dalam dunia kerja, entah industri apapun. Kompetisi yang ada sedemikian keras, cepat dan sengit. masuk dalam dunia ini sudah pasti harus siap-siap bersaing bahkan dengan cara yang tidak terbayangkan. Tidak ada yang ideal sama sekali. Lupakan segala kesopanan sebab duit dan jabatan jadi incaran. Lantas gimana kalo nggak mau kerja? Harus punya nilai bagus dan kembali bersarang di dunia akademik. Jadi dosen paling aman. Tapi bukan berarti nggak punya resiko. Mengeram tanpa telor di dunia akademik lama kelamaan membangun menara gading sendiri, alias tidak berkembang sebanding dengan dunia luar. Sukur-sukur kalo pencapaian itu bisa sampe sarjana Strata tiga alias doktor dalam usia di bawah 40 tahun. Masih punya banyak peluang dan kesempatan buat nengok dunia luar. Kalo kagak ya bertahan sampe kiamat. Apalagi jika bukan dosen tetap, mengandalkan kontrak per semester tanpa pernah punya pengalaman apa pun yang bisa diukur sesuai standar kecuali hanya mengajar. Menulis bisa jadi hobi, tapi itu bukan cari duit. Jaman gini apalagi, mana bisa cuma merem, dicetak, dijual dan terima duit banyak. Kalo ada ya receh juga. Cuma satu dua yang bisa begitu.
Kedua, dengan persaingan yang keras maka hal tersebut berdampak kepada kesiapan mental di awal. Mereka yang sekolah atau kuliah dengan waktu relatif normal, sempat mencari pengalaman kerja singkat, biasanya akan mampu menjalani persaingan dengan pola pikir yang lebih terbuka. Beda dengan orang yang udah cepat-cepat lulus dan punya nilai tinggi. Biasanya mengalami star syndrome duluan. Ngelamar kerja juga maunya ideal dapet gaji sekian. Taruhannya ijasah dari kampus keren dengan nilai mentereng. Hellow, situ siapa? Bisa nawarin punya apa? kalo soft skill nggak terbentuk, kapasitas sosial nggak terasah ya gudbai dadah aja.Begitu ada penolakan, langsung terkaget-kaget. Apalagi mereka yang pergaulannya cuma sebatas satu dimensi. Kenal dan besar di lingkungan yang itu-itu doang. Selebihnya cuma klaim bisa ini itu, sanggup begini begitu, ikrib dengan si anu ono tapi ujungnya nol besar. Maka banyak bergaul secara meluas dan mendalam pada beragam habitat itu penting. Sebab situ orang, bukan burung yang bergerombol gegara takut predator atau bisanya cuma cari mangsa bareng-bareng.'
“Instruction ends in the schoolroom, but education ends only with life.” ~Frederick W. Robertson
Ketiga, Pengalaman yang didapat selagi masih sekolah atau kuliah dengan sendirinya harus bisa mengasah diri secara sungguh. Orang pinter banyak, keblinger lebih banyak. Tapi yang mengurus dirinya secara layak, tau apa yang dia mau, dan mengerti bagaimana cara untuk mencapainya itu sangat sedikit. Nggak heran jika lulusan kuliah pun banyak yang nggak sesuai dengan cita-cita awal atau minimal bisa mengaplikasi ilmunya secara matang. Lulusan hubungan internasional kerja di kedai kopi, lulusan pertanian masuk kerja di bank, lulusan filsafat dagang somay, salah? Ya nggaklah, selama ada yang bisa diambil hikmah selain ijasahnya. Katanya begitu. Mau lulusan apapun dan kerja di manapun, itu sudah biasa. Pinter kan? Kalo keblinger ya lulus kuliah, belom ada pengalaman terukur, gegara punya duit lalu milih kuliah lagi. Istilahnya memperpanjang status pengangguran, sambil berikhtiar ini upaya memperbaiki taraf hidup. Padahal gelar sarjana bertingkat setinggi apapun nggak ada hubungannya dengan pemasukan. Pinter, keren di kampus, begitu lulus minim jejaring heterogen, maennya itu-itu doang, ya siap-siap kehilangan potensi dalam persaingan yang lebih global. Udah bego, kagak lulus, nggak punya temen, ilmunya nggak kepake, apalagi. Ke laut aja? Laut pun ogah.