Di jaman begini, kerja menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan saja soal memenuhi kebutuhan, aktualisasi diri atau bagian dari proses sosial, tetapi juga mengembangkan karakter sehingga yang bersangkutan bisa menjadi manusia yang lebih baik. Akan tetapi budaya kerja bukanlah perkara mudah. Setiap perusahaan, bisnis atau tempat kerja dimana pun punya kebiasaan yang berbeda-beda. Belum lagi secara personal setiap orang membawa habit masing-masing. Perbedaan itu disebabkan karena pola bisnis, jenis pekerjaan, habitat atau ekosistem yang tumbuh serta faktor lain baik sosial, budaya bahkan politik setempat. Ketika teknologi semakin maju, batas ruang dan waktu juga semakin tipis. Demikian pula dinamika persinggungan baik jalinan maupun konflik yang muncul. Ini berlaku bukan saja antar perusahaan, perusahaan dengan pekerja, bahkan juga antar pekerja. Situasi semacam itu kemudian membuat kategori tak resmi terhadap kebiasaan berupa budaya bergegas (hustle culture) dan kerja alakadar (quiet quitting).
Budaya bergegas memperlihatkan bahwa ritme, tempo, muatan hingga kebiasaan bekerja itu dilakukan dengan sangat cepat namun mementingkan ketepatan dan kualitas. Dengan kata lain, upaya yang dilakukan seseorang dalam bekerja adalah menuntut kematangan seklaigus juga mampu membawanya kepada hasil yang memuaskan setiap saat. Jadi, tegangan yang dihasilkan juga cukup tinggi. Orang harus pintar-pintar menjaga kapasitas pikir dan kemampuan fisik untuk tetap berimbang. Artinya, konsentrasi dan stamina harus tetap prima. Bisakah? Makanya ada istilah worklife balance. Mengambil cuti libur senang-senang supaya bisa siap kerja lagi dengan beban yang lebih tinggi. Emangnya situ pikir liburan cuma buat senang-senang doang? kagaklah. BIar seger dan siap dihajar lagi kan. Konsekuensinya, orang yang hidup di dalam ekosistem budaya bergegas ini di satu sisi bisa dikatakan memperoleh ruang ambisi, mengejar karir, terbiasa intensif dan berorientasi penuh entah kepada proses atau sekaligus hasil. Akan tetapi di sisi lain, ada resiko untuk mengalami kejenuhan hingga lelah (burn out), stress yang tidak bisa dikendalikan sehingga muncul ancaman seperti mulai insomnia hingga depresi.
Sebaliknya, mereka yang bekerja dalam kebiasaan alakadar justru berusaha berhemat dan minimalis baik terhadap beban kerja, ritme, serta intensitas yang dilakukan. Kalo nggak disuruh ya nggak dikerjain. Inisiatif jadi barang mahal pastinya. Kalo bukan bagiannya, ya ngapain juga ikutan. Malah ngedumel kalo diceramahin dan tetiba load kerjaan nambah. Asumsinya, dengan bekerja seminimalis mungkin maka terhindar dari resiko lelah, bisa menikmati hidup dan mengambil jarak secukupnya terhadap pekerjaan atau dunia profesi. Mereka sudah pasti menolak disebut malas, karena pekerjaan tetap bisa selesai. Lebih tepatnya adalah bersikap selektif secara ketat terhadap apa yang muncul dan menjadi tanggung jawab. Jika bisa lebih meluangkan waktu untuk yang lain, kenapa tidak? Meski demikian kerja alakadar juga punya resiko. Dengan ketidakadanya keterikatan maksimal, maka potensi untuk lebih berkembang di satu tempat bakal lebih sedikit. Mengapa? Sebab mereka dinilai terlalu oportunistis untuk bisa membangun karir. Selain itu mereka juga dinilai tidak loyal atau ada hanya ketika dibutuhkan atau membutuhkan saja. Terpenting, mereka juga mengalami kejenuhan meski berbeda dengan budaya bergegas. Jenuhnya para alakadar ini disebabkan karena sikap yang minimal selalu menghasilkan situasi motonon. Apalagi kalo bukan itu-itu aja yang dikerjain. Lama-lama ya bosen juga. Iya kalo masih bisa loncat. Tuaan dikit juga peluangnya makin sempit. Nggak ada variasi dan kemudian mulai berurat akar menahun. Konsekuensinya bukan saja soal stress tapi juga kemampuan adaptif yang tumpul ketika harus berpindah ke pekerjaan lain. Ntar ujungnya insomnia hingga depresi juga kan?
"The biggest risk is not taking any risk... In a world that is changing really quickly, the only strategy that is guaranteed to fail is not taking risks." ~Mark Zuckerberg
Lantas mana yang lebih baik? Ya nggak ada. Semua punya resiko, tinggal ukur diri aja apakah kuat untuk menerimanya. Sebab pilihan apapun yang dilakukan adalah tetap membuat orang harus bekerja dan menghasilkan. Dengan mengukur resiko, berarti tau ke depan akan seperti apa. Maka jangan nyesel kalo ternyata sudah kelelahan atau sebaliknya bapuk kelamaan di satu tempat. Itu juga belum seberapa sebab yang lebih buruk malah lebih banyak, terutama yang ogah ambil resiko. Semisal orang yang bekerja bukan karena mau ambisi atau alakadar tapi emang pada dasarnya males; nggak ngerti harus kemana dan terpaksa kerja gegara kebutuhan dasar. Ada juga orang yang bekerja karena memang nggak punya pilihan, tapi begitu dikasih pilihan malah serasa diperbudak. Kalo model sotoy-sotoy begini, bejibun juga di luar sana. Pengen kaya tapi mental miskin. Mau sukses, tapi orang lain yang kerjain. Demen lihat cuan, tapi lebih doyan kalo dikasih dan bukan karena mencari. Orang lain insomnias dan depresi gegara kerja, ini pening karena ogah kerja. Pagi-pagi minum susu, emang dasar asuu.