Berkaca itu urusan prosedural. Dalam konteks fisik, biasa dilakukan setiap hari untuk melihat apakah sisiran sudah bener apa belum, rambut berantakan atau nggak, jerawat sudah hilang atau membesar, ingus sudah bersih atau ada sisa, dan seterusnya. Akan tetapi dalam konteks non fisik seperti refleksi atau bercermin terhadap tindakan, nah itu kemewahan tersendiri. Sebab tidak semua orang mampu melihat dan mencermati tindakan apa saja yang sudah dilakukan dirinya baik dari sisi efektivitas, intensitas, risiko dan lainnya. Kalau pun mampu, apakah ada improvement yang bisa dilakukan? itu soal lain lagi. Jika ada perbaikan, sejauh mana dampaknya? Beda lagi.
Jadi berkaca pun juga bukan tindakan sepele. Dengan melakukan refleksi, setidaknya orang diminta untuk bisa melakukan evaluasi. Melalui penilaian internal atau mandiri itu, orang juga ditantang untuk bisa menjadi lebih baik lagi. Masalahnya adalah, oleh karena berkaca adalah kemewahan mental dan tidak semua orang melakukannya maka tidak jarang setidak tindakan mengalir begitu saja tanpa penilaian. Banyak yang lempeng-lempeng aja tidak mempedulikan konsekuensi dari tindakan. Banyak yang tidak menghitung dampak sampai kemudian risiko yang terjadi sudah di depan mata. nah, kalo sudah begitu mau bilang apa?
Sebagai contoh adalah ketika sebuah tindakan gagal. Alih-alih mengevaluasi dan memperbaiki, banyak orang yang justru menghibur diri. "Udah kok kamu keren tadi", "beneran itu mantap", "semoga lain kali lebih bisa sukses ya" adalah kalimat manipulatif yang sering digunakan untuk membesarkan hati. Lho kenapa? Sebab pada dasarnya orang tidak siap dengan kegagalan. Orang takut terhadap efek besar dari kegagalan yang dibayangkan terlebih dahulu. Rasa takut dan ngeri yang lebih besar tadi membuat penghiburan dibutuhkan. Padahal cukup sederhana, berkaca saja. Sama seperti kematian. Kenapa takut? Mati kan hal biasa. Iya sih, takut dengan perasaan sakit ditinggal, kenangan, ikutan sebagainya. Itu yang membuat rasa takut menjalar. Ujungnya pukul rata. Bermain dengan perasaan sendiri. Balik lagi ke soal gagal, ya sama saja.
Maka berkaca sekali lagi adalah kemewahan. Mereka yang tidak mampu merencanakan lebih jauh dengan perbaikan di dalam hidupnya, akan berkutat dengan saling menghibur diri, membesarkan hati dan tetap mengulang proses yang sama. Itu-itu saja. Padahal kalo beneran mau jadi orang sukses, ya tambah kacanya. Kalo bisa sekalian dengan yang cembung, sehingga keburukan itu bisa terlihat jelas dan diberantas. Kok malah dipiara?