Setiap orang butuh lingkungan pertemanan yang konon harusnya sehat. Pengertian tentang sehat adalah bagaimana sebuah habitat bisa membuat pikiran, mental, jiwa, raga bahkan atribut sosial ekonomi bisa berkembang dengan baik. Tidak ada bentuk negativisme semacam saling jegal, hasut, intrik, rundung atau bahkan memotong baik halus maupun sadis. Akan tetapi tidak jarang lingkungan pertemanan jauh dari situasi yang ideal. Lebih banyak berisi orang yang memang disatukan karena faktor sekunder atau tersier, misalnya seperti hanya karena teman sekolah, tetangga, profesi, atau pilihan-pilihan lain. Sangat sedikit yang memang kemudian terseleksi dengan baik atau memang sedari awal berteman karena faktor primer seperti niat untuk benar-benar saling mengenal. Dengan adanya positioning awal semacam itu, maka orang suka salah sangka. Contohnya adalah menganggap orang yang seprofesi atau teman kantor adalah bisa jadi teman juga. Padahal karena faktor sekunder atau tersier itulah pertemanan yang ada menjadi sangat taktis dan merujuk kepada kepentingan masing-masing.
Itulah sebabnya lingkungan pertemanan semacam demikian bisa menjadi sangat toxic. masing-masing dipaksa untuk bertemu dalam situasi yang kompetitif, tidak berimbang dan bisa jadi saling mencelakai. Orang menjadi tidak punya banyak pilihan dan harus bisa selektif secara personal dengan resiko yang harus bisa dihitung. Menocba untuk keluar tentu saja ada konsekuensi terhadap faktor primer seperti soal nafkah, pekerjaan, identitas dan sebagainya. Lain halnya jika lingkungan pertemanan dibentuk karena faktor primer sejak awal sebagai sebuah motif. Ada pilihan bebas untuk melanjutkan, atau sebaliknya meninggalkan. Maka berteman adalah sebuah kompleksitas yang seringkali tidak disadari punya banyak kekeliruan.
Kekeliruan pertama adalah seperti digambarkan di atas berupa mencampuraduk mana faktor yang muncul. Rekan kerja dianggap bisa diperlakukan sama dalam urusan personal, atau malah dengan teman hahahihi maunya jadi profesional. Campur aduk semacam itu tentu akan membuahkan hasil yang tidak diharapkan. Rekan kerja akan menggunakan setiap informasi personal sebagai bahan untuk menjatuhkan, sedangkan yang berkualitas tongkrongan hanya akan bersama-sama mimpi semu tentang kesuksesan sambil ngopi ngalor ngidul. Kekeliruan kedua adalah menganggap bahwa lingkungan pertemanan adalah sama dan sebangun. Ketika makin banyak mengenal orang, tidak semua menjadi akrab. Ketika akrab dengan beberapa orang, tidak semua juga menjadi teman. Ketika menjadi teman, belum tentu dekat. Bahkan yang dekat sekalipun tidak bisa diandalkan. Jadi gagasan soal komunalisme atau kolektivisme yang serba guyub dan gotong royong itu bisa terwujud dengan mengakomodasi hampir semua kepentingan yang ada. Disebut hampir semua, karena sudah jelas tidak bisa menyenangkan semua orang kan? Nah, disini kekeliruan ketiga dan terbesar; berharap bahwa dengan menyenangkan semuanya adalah membuat lingkungan pertemanan menjadi awet, langgeng, rukun, kompak dan seterusnya. Konon kalo mau menyenangkan semua orang jadilah tukang eskrim ketimbang sosok yang berlagak baik buat siapa saja. Tukang eskrim pun bisa jadi nggak asing kalo kehabisan rasa stroberi.
“Keeping bad company is like being in a germ-infested area. You never know what you’ll catch.” ~ Frank Sonnenberg, Listen to Your Conscience: That's Why You Have One
Jadi problem yang paling inti di dalam sebuah lingkungan pertemanan adalah kembali kepada diri sendiri. Jangankan menyenangkan buat orang lain, buat yang terdekat bahkan diri sendiri bisa jadi anyep ketika karakter yang ada tidak mampu berkembang. Sudah banyak orang yang sok asik, tapi sebenarnya tidak pernah tulus, dengki, nggak punya kemampuan, gembel, nggak ada yang bisa dibanggakan tapi maunya diakui, serba bisa, mampu merangkul semua pihak, dan ujungnya ya cuma menjilat. Sebab cuma itu yang diandalkan ketika ketemu orang baru yang dianggap punya potensi untuk menyenangkan dirinya. Kalo pun ada pribadi yang asik, belum tentu juga mampu memilih lingkungan pertemanan yang sesuai. Perasaan nggak tegaan, mau berkorban, jadi inisiator atau bahkan mendorong sebuah kerja serius malah bisa kemudian sekedar dimanfaatkan atau tidak dianggap sama sekali. Maka biar gimana juga, tetap ada skala prioritas tersendiri mengenai diri sebelum berpikir faktor primer, sekunder dan tersier dalam lingkungan pertemanan. Lebih baik asik sendiri daripada sok asik macem udah becus aja jadi orang kan?