Pada umumnya orang selalu punya rasa iri, cemburu atau ketidaksukaan jika orang lain bisa lebih sukses, lebih makmur, lebih berhasil ketimbang dirinya. Sebab di satu sisi yang bersangkutan sudah kadung percaya diri bahwa namanya keberhasilan adalah miliknya, tapi di sisi lain terperangah apabila ada orang lain yang sudah lebih jauh melangkah. Kenapa? Pertama, kebiasaan pamer yang sering dilakukan ternyata kerap melupakan proses sehingga banyak orang lain yang ternyata sudah ngebut duluan secara diam-diam. Kedua, berpikir bahwa selama ini dirinya cukup mengandalkan keberuntungan hidup yang ternyata jika dilihat dari luar ya biasa-biasa aja alias berpuas diri. Ketiga, memang pada dasarnya tau nggak bisa kemana-kemana-mana jadi nggak rela jika ada perkembangan di luar yang tidak bisa dijangkau atau bahkan dikuasai. Begitulah yang disebut dengan crab mentality dan sudah pernah dibahas di blog ini. Udah nggak mau berasa kalah, harus pula membuat orang lain mengalah.
Akan tetapi yang mau disorot di sini adalah perilaku semacam itu justru dinikmati oleh sebagian orang yang berpikir bahwa jalan pintas menuju sukses adalah membuat bayangan dirinya lebih besar sehingga menutupi orang lain. Bayangan doang lho, bukan kondisi aktual yang ada. Bukankah ini lebih mudah dan instan ketimbang harus berpayah-payah membuat kemajuan untuk diri sendiri? Pasti. Caranya pun cukup mudah. Pertama, tertarik dengan urusan orang lain. Menggali informasi mulai dari yang besar hingga pritil bisa memuaskan diri untuk tau bahwa orang lain punya kekurangan dan kelemahan. Jika sudah ada, tinggal dieksploitasi habis-habisan. Mulai dari bergunjing, menyindir bahkan menyebar informasi tersebut bahkan kepada yang tidak mengenal. Urusan orang lain jauh lebih mengasyikkan. Bisa menonton ragam kegagalan yang kemudian mampu menghibur diri bersorak. Kalo keberhasilannya sih, diamkan saja. Toh menikmati urusan orang lain sudah barang tentu jadi bahan yang tak kunjung habis.
Kedua, fokus kepada kenikmatan hidup yang ada saat ini. Selagi orang lain keringetan cari duit, membiayai bahkan mengambil alih tanggung jawab ya buat apa diganggu? Menikmati hidup adalah cara terbaik untuk bisa melupakan masalah-masalah duniawi seperti nggak punya duit, bayar tagihan, cicil tunggakan atau urusan perut sehari-hari. Jangankan urusan uang, soal bagaimana berperan secara individual maupun sosial juga nggak jadi beban. Jika terlalu berat, cukup dibawa tidur. Jika terlalu banyak, cari hal lain sebagai hiburan. Mengerjakan yang menyenangkan hati sebagai bentuk eskapisme atau pengalihan adalah hal yang efektif meski nggak ada gunanya. Apalagi jika fasilitas yang ada masih bisa tergolong gratis karena sudah ada yang bayarin. Enak kan? Jadi biar kata susah, yang penting keren.
Ketiga, bersikap selalu peduli kepada omongan orang. Oleh karena bisa ngomongin orang lain, maka sudah sepantasnya omongan orang juga jadi penting. Reputasi adalah hal yang perlu dijaga sebab menyangkut pencitraan nama. Bagaimana tidak, sebab upaya yang dilakukan selama ini adalah menunjukkan kepada publik tentang sosok diri yang bisa dipercaya, baik hati jujur, tidak sombong dan gemar menabung. Perkara ada orang yang tau sebenarnya ya diamkan saja selagi nggak bersuara. Urusan karakter nggak penting sebab lebih bagus jika orang hanya tau kulit-kulitnya saja. Jadi mau berbohong soal pencapaian hidup sekali pun, bisa dilakukan selagi orang lain nggak terlalu mempedulikan intinya. Tapi jika sudah ada yang ngomongin, harus diperhatikan sebaik mungkin. Jika mereka sudah mulai bicara yang sesungguhnya, maka hal itu harus dihentikan dengan kebohongan yang lebih besar. Rasa suka atau benci dari orang lain harus ditanggapi serius sebagai torehan terhadap reputasi.
Keempat, jangan pernah merasa cukup. Meski sadar bahwa hidup berikut perolehannya cuma segitu-gitu aja, wajarlah jika ambisi harus dipelihara. Apalagi berkaitan dengan reputasi kan? Maka upaya-upaya untuk bisa menunjukkan diri menjadi seseorang yang harus bisa dipandang dan diakui masyarakat adalah hal penting. Cara paling cepat untuk mencapai itu adalah dengan tampil sesering dan sebisa mungkin di dalam kancah dan komunitas yang dianggap menguntungkan. Isinya bisa jadi orang-orang yang selama ini beranggapan positif soal reputasi, atau mereka yang belum terlalu mengenal secara pribadi. Lumayan lah kayak gitu bisa agak menutupi. Perkara ada atau nggak ada duit atau profit, yang penting ada minimal keuntungan untuk bisa disebut sebagai orang yang harus diperhitungkan.
Kelima, membiasakan diri untuk selalu kepo atau julid terutama buat orang lain yang dianggap menjadi batu sandungan. Melototin status, komentar, ngintip medsos, baca blog, atau bahkan bikin tandingan dengan harapan agar dibaca dan kemudian gantian jadi perbincangan. Nggak perlu repot juga, tinggal kutip salin tempel saja tanpa butuh banyak usaha. Paling tidak, ada perasaan lega untuk selalu bisa memantau dan mengikuti perkembangan sekaligus promosi diri supaya nggak dianggap serba ketinggalan. Dengan menjadi julid, maka reputasi akan tetap terus terjaga sekaligus memupuk rasa percaya diri bahwa orang lain nggak ada apa-apanya. Sebab sudah pasti apa yang mereka perbincangkan akan selalu berkaitan dengan ego pribadi. Lu ngomongin gue ya? Nah, itu sebabnya parno jadi bermanfaat sebagai radar dalam menjaga reputasi.
Jika diperhatikan dan dijalani baek-baek, maka kelima hal di atas jadi jaminan mutu untuk membuat hidup menjadi sulit. Kecemburuan bukan lagi menjadi sekedar sentimen yang menyala untuk membuat mata dan pikiran terjaga hingga sulit tidur, tapi juga membakar energi dan juga tujuan-tujuan yang lebih besar. Cemburu bukan lagi soal jealous, tapi envy. Maka tidak heran jika orang yang sudah berpikir bahwa dirinya harus selalu lebih baik dari orang lain tanpa upaya yang nyata, akan larut tenggelam dalam kesia-siaan. Bayangin aja, udah ngegembel tapi mangkel melihat di sekelilingnya sudah entah jauh kemana. Kalau pun ada perasaan miris atau sedikit sesal, ya anggap aja aja itu cuma torehan superfisial. Gampang kan?