Istilah "cari panggung" biasanya punya makna peyoratif atau merendahkan. Lihat saja ketika seperti ada kasus kriminalitas besar di negara ini. Hampir semua lembaga atau insitusi yang berasa berkaitan, selain pihak yang berwenang mengusut juga turun tangan. Mulai dari komisi anu itu lembaga onoh entuh giat memberikan komentar, analisis, pendampingan bahkan presentasi di depan media. Publik pun pasti nyinyir, cari panggungkah biar dianggap ada kerjaan? Ini terjadi bukan saja di level kelembagaan, tapi juga bisa individu. Misalnya seperti artis atau tokoh politik yang sedang surut popularitasnya. Pasti akan ada saja cara untuk menaikkan nama meski nggak harus naik panggung sesuai pekerjaan. Bikin skandal, drama, bahkan konflik atau pertikaian juga adalah cari panggung sekaligus cari cuan.
Cari panggung juga bukan monopoli kelas elit semacam demikian. Dalam sehari-hari banyak juga orang yang melakukan itu. Mulai dari sekedar perbincangan dengan orang lain hingga unggah status di media sosial. Tujuannya pun tetap sama; bagaimana agar bisa dilirik dan sukur-sukur diakui keberadaannya oleh habitat yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, cari panggung adalah sebuah agenda serius yang sudah pasti diharapkan ada benefit atau keuntungan untuk bisa diraih. Dengan cari panggung, efek boosting yang dihasilkan harus bisa berdaya guna agar orang lain segera dapat melihat bahwa sosok yang bersangkutan punya sesuatu untuk dikenali, dijadikan referensi bahkan ada kooperasi yang bisa dilakukan. Minimal diingetlah sama orang. Intinya begitu.
Lantas apa masalahnya? Cari panggung adalah langkah instan ketimbang melakukan proses yang dianggap memakan waktu meski tujuannya sama. Lihat saja para politisi. Jika memang berniat terjun ke dunia politik, menjadi wakil rakyat tentunya butuh kerja keras agar bisa dikenali. Mereka yang mulai dari bawah sudah lazim untuk mengadakan kunjungan ke dalam habitatnya, tidak sekedar menyapa tapi juga mendengarkan segala keluh kesah, menyampaikan pesan dan menawarkan solusi. Sama halnya dengan orang yang mau memimpin organisasi sudah pasti harus bisa dikenal secara jelas apa kiprah dan tindakan yang sudah dilakukan selama ini, sehingga para anggota tidak saja mengenali tetapi juga mengakui karakter yang dibangun. Akan tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Banyak orang cari panggung tapi ogah keringetan. Mendaftar saat pemilihan kemudian bikin pentas dangdut, pasang baliho foto besar dan bagi-bagi duit. Mau memimpin organisasi juga modal nampang, pamer keseharian, dan bikin status di media sosial. Mengenali anggotanya sudah nggak pernah dilakukan. Paling cuma klaim ini itu. Lebih konyol lagi, masih ada orang-orang yang percaya bahwa pendekatan semacam itulah yang membuat reputasi mereka dikenal.
Jadi cari panggung itu hanya efektif ketika dilakukan secara insidental atau sesuai dengan momentum yang sedang terjadi. Melakukannya secara terus menerus justru membuat orang malah jadi eneg karena bisa jadi bias yang timbul malah jadi besar. Alih-alih mengetahui apa kapasitas sesungguhnya, malah jadi pamer secara superfisial. Padahal sudah pasti apa yang dipamerkan belum tentu berbanding lurus dengan apa yang dimiliki. Maka media sosial justru menjadi ranah penting di dalam cari panggung. Udah gratis nggak bayar, nggak perlu bertemu dan agenda yang mau diangkat bisa terus-terusan tayang. Pada titik tertentu, cari panggung kemudian bisa berubah menjadi antiklimaks yang menyebalkan. Lihat saja kampanye soal bagaimana melestarikan kebudyaan melalui produk-produk yang dianggap bernilai seni tinggi. Jangan bayangkan bahwa bentuk pelestarian seperti batik itu adalah memberi pengetahuan tentang proses pembuatan atau upah yang diperoleh pengrajin. Sudah pasti yang ditampilkan adalah ibuk-ibuk pejabat yang parade kain batik, belanja dan menampilkan wajah-wajah kemayu menggunakan batik. Alhasil, bentuk kampanye semacam itu jadi nggak tepat sasaran. Batik hanya menjadi bahan etalase kepentingan pribadi yang numpang cari panggung di dalam pelestarian kebudayaan.
“People with an unbridled thirst for attention is usually very empty and trying to fill themselves at the expense of others.” ~ Amelia Rose
Dengan demikian cari panggung bisa membuat prioritas sebuah agenda besar menjadi bergeser hanya bersifat personal. Jika sudah bicara personal, maka sudah pasti nggak jauh-jauh juga dengan soal bagaimana reputasi atau pencitraan bisa dijaga dan dinaikkan. Itu sama seperti meniup balon rupa-rupa aneka warna, hingga tau-tau ada yang pecah. Kalo dah gitu bisa buyar demam panggung. Apa yang tadinya diharap mau menjadi sebuah pencapaian instan malah jadi anyep nggak karuan. Ujungnya cuma dikenal sebagai "Oh pernah dengar aja". Kasian kan?