Dalam hidup akan selalu ada masalah. Mulai dari yang sederhana, bertingkat, kompleks hingga yang chaotic atau kacau. Contoh masalah sederhana adalah kalo laper ya makan, haus ya minum. Problem solvingnya cukup searah, langsung dan logis. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak seperti demikian. Bagaimana kalo laper nggak ada duit? Bagaimana kalo haus nggak ada air? Maka mulailah masalah secara bertingkat. Lama-kelamaan masalah merembet kemana-mana. Nggak ada duit karena nggak kerja, atau kerja tidak menghasilkan banyak uang. Sudah mulai kompleks. Gimana kalo kita trading, cari duit tambahan, money game, ngerampok atau ya paling tidak cari proyekan receh? Masalah jadi semakin kacau ujungnya.
Maka tidak mengherankan meski masalah selalu ada di dalam hidup, tapi tak mudah menjawabnya karena tingkatan-tingkatan semacam itu. Padahal banyak metode yang sudah dihasilkan untuk problem solving seperti trial and error, mereduksi perbedaan, analisis sarana dan tujuan, proses berbalik, analogi, brainstorming, mindmapping dan sebagainya. lantas apakah semua metode itu tidak efektif? Bukan itu. Masalah yang sederhana menjadi kacau disebabkan beberapa hal. Pertama, secara strategis mungkin cara pandang kita terhadap masalah. Mungkin yang tadinya sederhana menjadi rumit gegara kita sendiri yang punya perspektif keliru. Hal yang biasa jadi ribet, yang ribet digampangin. Mengapa? Bisa jadi karena masalah wawasan, bisa jadi karena kepentingan, bisa jadi karena ego, bisa juga karena emosi. Jadi tidak ada kepala dingin dalam melihat masalah. Padahal baik emosi, ego hingga bego itu mematikan.
Kedua, secara teknis ternyata salah dalam menggunakan metode. Misalnya brainstorming adalah proses untuk kuras otak secara kolektif. Ada batasan waktu, ada pencapaian kuantitas jawaban. Tapi seringkali cuma dijadikan ajang ngerumpi bahkan debat karena tiada batasan waktu, atau terjebak dalam mencari jawaban mana yang paling bagus. Demikian pula dengan mindmapping; biasa spontan dilakukan sendiri untuk memetakan sebuah topik, malah berpikir untuk mencari gambar, alur dan deskripsi yang tidak relevan karena mau dibilang bagus. Lebih lucu lagi Focus Group Discussion. Udah kayak panel atau seminar biasa dengan pembicara. Padahal penyelenggaraan FGD seperti di segmen riset industri punya standar ketat dengan jumlah partisipan, peran moderator yang berbeda dengan diskusi biasa, kedalaman pertanyaan, hingga tujuan dari FGD itu sendiri. Di segmen birokrasi atau bahkan akademik, hal semacam itu cenderung dibikin sederhana dan cuma buat syarat prosedural aja.
Ketiga, masalah tidak berhenti pada solusi. Emangnye lu kate kalo udah ada jawaban terus masalahnya selesai gitu? Bisa jadi malah merembet ke masalah lain, bisa pula terjawab tapi menimbulkan masalah baru yag lebih kompleks, bisa juga masalah terjawab hanya sementara. Jadi solusi bukanlah pintu akhir, sebab solusi apapun semuanya adalah sementara. Dengan muncul masalah baru dan kemudian solusi baru secara berulang, maka ada pola yang didapat. Pola inilah yang kemudian digunakan untuk membaca dan merencanakan langkah berikutnya. Sama seperti genteng bocor. Musim kemarau ditambal, musim hujan aman, eh musim kemarau lagi retaknya muncul. Ditambal lagi kan? Oleh karena mengganti seluruh genteng adalah mahal, maka pola yang muncul, dibaca dan direncanakan adalah setiap musim kemarau menambal genteng sampai harus benar-benar menggantinya. Dengan pola, maka keseluruhan masalah bisa dibaca untuk mencari solusi. Dari solusi akan muncul pertanyaan dan masalah baru yang lebih luas. Wajarlah.
“If your only tool is a hammer then every problem looks like a nail. -- Abraham Maslow
Maka punya masalah itu wajar. Menjadi tidak wajar jika ternyata karena ketidaktahuan atau kesengajaan orang justru memperbesar dan memperbanyak masalah yang ada. Terlebih jika biasa main di tataran konseptual, tapi miskin pengalaman. Menjadi tidak wajar jika semua masalah dianggap sama dengan penyelesaian yang sama. Maka cara praktis untuk menjawab masalah adalah mencari tahu kepada orang yang pernah mengalami, menyaksikan atau meneliti. Atau lebih baik pernah mengalaminya sendiri. Sebab pemecahan masalah adalah sebuah keahlian wajib, bukan semata tambahan. Jadi jangan dihindari, kalo bisa dicari dan diselesaikan. Menghindar hanya menumpuk tanpa kejelasan akhir.
Apakah kira-kira jawaban terbaik? Segudang teori bisa diberikan, tetapi contoh itulah yang paling berharga. Sebab secara empiris, meski sebangun tapi tidak serupa maka masalah yang mirip bisa jadi ada solusi yang mirip pula. Coba aja tanya orang yang ngajarin segudang teori pemecahan masalah. Adakah contohnya? Pernah ngalamin nggak? punya story nggak? Kalo cuma copas-copas dari gugel doang mah, semua juga bisa. Itulah sebabnya, carilah masalah hingga ke ujung dunia sehingga hidupmu tambah kaya dan berwacana.