Orang bilang cemburu atau iri hati itu selalu menyiksa. Nggak bisa tidur, kepikiran sampe beneran overthinking, merasa tersaingi hingga kemudian bisa hilang akal melakukan yang bukan-bukan. Urusan cemburu bukan sekedar monopoli yang berkaitan dengan cinta. Itu sempat sekali. Cemburu bisa lebih besar, karena ada perasaan sirik, dengki, hingga membenci. Tanpa sadar, rasa iri ini sebenarnya dapat membunuh diri pelan-pelan. Jadi penyakit yang tidak diharapkan tapi mampu mengoyak bukan saja perasaan dan pikiran, tapi juga tubuh hingga beneran menjadi rusak. Ada yang ogah makan, insomnia sampe berbuat yang destruktif entah keluar atau ke dalam. Keluar bisa jadi bawaannya mau ngajak ribut, ke dalam ujungnya minum-minum dan narkoba. Parah kan?
Kalo gitu kenapa sih orang harus cemburu? Banyak sebab dan kemungkinan itu bisa terjadi. Ada yang melihat hanya dari tampak luar saja dan yakin bahwa apa yang bikin sirik itu adalah sesuatu yang harusnya jadi milik pribadi. Dengan kata lain, lebih merasa pantas, mampu dan layak. Ada juga yang merasa tersaingi, ingin menyamakan tapi nggak mampu. Ada yang melihat dan tidak menerima bahwa dirinya menjadi lebih rendah dibandingkan orang lain. Ada yang memang pada dasarnya emang nggak suka dan menjadi benci jika melihat keberhasilan orang lain. Ada yang terbiasa menganggap remeh, nggak mau kalah dan sontak jadi pemberang begitu ada orang lain yang mengungguli. Jadi cemburu itu biasanya memang bermuara menjadi benci dan penyakit hati. Dampak dari pikiran dan perasaan semacam itu tanpa sadar berpengaruh kepada perilaku dan tindakan. Pikiran dan perasaan didorong untuk selalu kotor sehingga wajar saja jika wajah pencemburu selalu berkerut, nggak pernah senyum, bahkan mengabaikan orang lain.
Jadi umumnya mereka yang cemburu di satu sisi tidak bisa mengontrol pikiran dan perasaan, serta di sisi lain tidak juga mampu berbuat banyak. Orang yang cukup waras untuk berkompetitif secara sehat, pastinya akan senang jika menemukan pesaing yang tangguh. Dengan kata lain, kompetisi bisa menjadi bagian yang cukup efektif untuk menumbuhkan diri, mengembangkan kemampuan agar bisa lebih baik. Tapi orang yang punya kebiasaan dengki itu, justru memandang kompetisi atau persaingan adalah untuk sekedar menunjukkan siapa yang terbaik. Oleh karenanya, aspek pengembangan dan perbaikan dianggap nggak penting. urusannya menang atau kalah, diakui atau tidak diakui.
"Those who enjoy their own emotionally bad health and who habitually fill their own minds with the rank poisons of suspicion, jealousy and hatred, as a rule take umbrage at those who refuse to do likewise, and they find a perverted relief in trying to denigrate them." ~Johannes Brahms
Jadi permasalahan orang-orang macam demikian adalah bukan kepada proses, bukan pula kepada hasil. Lebih banyak berkutat kepada kepantasan, pengakuan, ego dan juga keberadaan diri. Bisa jadi memang pada dasarnya minderan, traumatis atau insecure. Sebab dengan demikian itulah penyebab utama yang kerap disembunyikan. Jadi kalo ngadepin orang macem itu, ya abaikan aja. Cuekin anggap nggak ada. Ngapain juga ikut terbawa skema memikirkan yang tidak-tidak. Ngapain juga harus jadi pusing menanggapi. Sebab omongan yang muncul sudah pasti hanya ada di belakang. Orang pencemburu nggak mampu bersaing secara sehat dan memilih jalan pintas untuk mengekspresikan ketidakmampuannya lewat tanggapan yang negatif. Tujuannya bukan untuk sekedar menjatuhkan orang lain, tapi menutupi perasaan minderan, traumatis atau insecure itu. Lantas buat apa diseriusi? Kecuali jika sisi destruktif yang ditunjukkan sudah kebangetan. Maka sesekali ada gunanya juga pasal pencemaran nama baik atau cara-cara hukum untuk bisa menyadarkan orang yang nggak bisa dihadapi hanya dengan omongan.
Dengan demikian, sudah selayaknya orang yang cemburuan itu mikir panjang; masih mau memelihara ego ataukah lebih baik diam duduk manis mengakui kekalahan? Ya mana bisa juga sih. Biasa dikasih menang melulu, begitu nggak mampu malah tersinggung jadinya.