Beberapa waktu lalu di dalam konteks relasi personal, orang kenal istilah ghosting alias pehape. Bujuk rayu yang memberi harapan palsu kemudian menghilang tanpa jejak. Sempat ramai gegara kisah asmara anak pejabat tinggi negara yang sukses membuat mantannya mangkel gegara ditinggal begitu saja, nggak ada angin nggak ada kabar. urusan ghosting ternyata tidak saja terjadi di dalam dunia cinta-cintaan. Di dalam kerja dan bisnis juga sama. Udah sampai pada tahap seleksi akhir, tetiba calon pegawai cabut nggak jelas. Biasanya berubah pikiran gegara ada tawaran yang lebih menarik. Lebih parahnya jika sudah masuk masa percobaan atau jelas diterima baru kemudian lenyap begitu saja. Bayangkan soal biaya, tenaga dan waktu serta kesempatan yang seharusnya bisa didapat oleh orang lain. Proses terpaksa mulai lagi dari awal. Demikian juga sebaliknya perusahaan yang kemudian nggak ngabari bagi calon yang gagal. Padahal etiketnya ya ngasih tau. Tapi dari semua cerita ghosting itu sama; ada keinginan bahwa tau-sama tau aja. Ya emang bisa? mana ada satu pihak diharapkan macem cenayang untuk bisa paham tanpa informasi dari pihak lainnya.
Tapi selain ghosting, aja juga istilah breadcrumbing. Terjemahan harafiahnya adalah ngasih remahan roti macem burung merpati. Breadcrumbing adalah tindakan yang merayu, membujuk seolah cinta namun tidak ada tanda-tanda sosial untuk berkomitmen. Maunya mancing orang supaya jadi mitra romantis tanpa banyak usaha. Banyak fakboi dan fakgirl yang biasa begini; mancing-mancing cuma pake pesan, telpon atau interaksi melalui media sosial secara sporadis. Jika orang yang dituju sudah kelihatan mundur atau nggak tertarik, mereka bisa lebih intensif dan atentif. Aktivitas seperti texting, DMing bisa jadi gencar tapi begitu direspons malah anyep. Nggak langsung dibaca atau dijawab. Segala komentar seperti follow, likes dan kolom basa basi selalu ada tapi nggak pernah mau terlibat dengan komunikasi langsung. Bisa menjadi sangat perhatian dan menggoda secara personal tapi males ketemuan. Upaya flirting atau menarik perhatian semacam ini tidak spesifik ditujukan kepada satu orang. Bisa beberapa sekaligus, dan sangat menikmati respons yang muncul. Dampak dari breadcrumbing yang seringkali tidak diketahui banyak orang adalah bukan cuma soal perilaku orang yang kelihatan sok wow keren perhatian, tapi justru berupa manipulasi perasaan sehingga memancing jiwa oportunistik dari pelaku. Mereka tidak akan peduli dengan perasaan orang lain karena informasi yang muncul hanya untuk menguntungkan citra diri mereka sendiri. Narsisistik? Bisa jadi. Dengan tindakan semacam itu, artinya mereka butuh validasi dari orang lain agar merasa baik dan tak menutup kemungkinan sebenarnya mereka diam-diam sudah punya pasangan.
Urusan diam-diam itu kemudian melahirkan istilah stashing, yang secara harafiah adalah tempat menyembunyikan sesuatu. Mereka yang terjebak untuk lanjut jadi burung merpati yang diumpanin remahan roti, kemudian bisa jadi masuk dalam relasi yang tertutup. Para stashers ini akan menyembunyikan pasangannya. Motif bisa macem-macem, baik pengen kelihatan masih single, mau bebas, merasa malu, berpikir bahwa nggak ada harapan ke depan atau emang pada dasarnya nggak mau ketahuan selingkuh. Boro-boro unggah foto bareng, segala informasi perihal kedekatan pun nggak ada. jangankan tau pasti siapa yang bersangkutan, dikenalin sama keluarganya pun tidak. Tapi begitu coba mengorek para pelaku ini biasanya akan jadi marah dan mencoba menutupi bisa lewat ancaman halus hingga kasar. Segala keributan terjadi gegara hal itu, lantaran ada banyak masa lalu atau latar belakang yang tidak diceritakan secara detail. Dampak dari barang umpetan semacam ini jelas adalah perasaan depresi secara konstan yang kemudian bisa berakibat buruk kepada kesehatan jiwa. Egois sih emang. Seolah seperti memenjarakan orang lain secara non fisik.
“It’s all going to be okay. She would like to hear that now, even if it was a lie. Because some lies are beautiful. Stories do not tell you that.” ~ Anne Ursu, Breadcrumbs
Jadi dalam konteks relasi personal sudah jelas ada banyak persoalan di dalam saluran komunikasi dan perihal kesetaraan yang kemudian berakibat seseorang berasa kayak burung merpati yang kakinya diikat. Butuh kesadaran dan akal sehat untuk mau melihat orang lain dengan seimbang dan bernegosiasi ke depan. Hal yang menarik dan menantang adalah, apakah hambatan semacam itu juga terjadi dalam konteks relasi yang katakanlah profesional, kerja atau bisnis? Mungkin saja. Meski istilahnya bisa berbeda, namun indikasi perilaku yang muncul adalah sama. Orang yang kemudian merasa tidak puas, tidak berkembang atau pasrah dengan situasi. Hanya saja di dalam bentuk non personal, sudah pasti ada power dan hirarki yang lebih jelas bermain, ketimbang dalam urusan personal. Bayangkan jika seseorang secara sadar atau tidak melebur urusan cinta dengan kuasa di dalam relasi asimetris. Apalagi urusan cari duit. Bahaya banget kan? Akal sehatnya udah nggak dipake sebab sudah jadi remahan dipatok burung.