Sebenarnya kata cheat tidak cukup hanya dijelaskan dengan istilah curang saja. Curang memang tidak jujur. Lebih dari itu, istilah tersebut menjelaskan sebuah cara untuk mempersingkat atau bahkan meniadakan proses agar bisa mendapatkan hasil maksimal. apapun dan dimanapun. Dengan demikian curang juga menipu, baik orang lain dan juga diri sendiri. Tujuannya? untuk kepentingan pribadi yang nikmat dan menyenangkan pastinya. Instan pula.
Contoh deskriptif paling menyenangkan dari sebuah kecurangan itu adalah cheat saat main game first or third person shooting entah dengan komputer atau konsol. Dengan aplikasi trainer, cheat table atau tekan tombol tertentu sana sini, maka si pemain bisa mulus melewati fase atau tahapan game. Mulai dari god mode on, all weapons, infinite ammo, one shot kill, hingga invisible sehingga musuh jadi bego nggak bisa melawan. Tau-tau pada mati. Bandingkan dengan pemain tanpa menggunakan cheat codes. Biar pun kelas rookie atau pemula tetap saja tewas dan mengulang lagi tahapan yang sama hingga mengalahkan musuh dan naik ke level berikutnya.
Jadi proses para pemain game satu sama lain juga tidak sama. Akan tetapi bukankah sebenarnya hidup pun juga demikian? Ada yang bisa menang mudah, ada yang harus mengulang. Oleh karena tidak sama, maka selalu akan terpikir jalan pintas untuk menyelesaikan. Mereka yang tergoda dengan kecurangan biasanya karena ada paradoks yang terjadi. Di satu sisi, cemas melihat perkembangan hidup orang lain. Ada yang lagi mesra, ada yang berkeluarga, ada yang berkecukupan, ada yang lagi senang-senang. Nah, maunya bisa kayak gitu. Segera. Tapi seringkali orang mengabaikan lingkungannya. Mau jadi rampok, kok masih juga bergaul sama copet? Jadi habitat yang seharusnya bisa mendukung berkembang malah dibiarkan terus menekan, sementara ia tidak berani memperlebar zona nyamannya. Di sisi lain, si curang ini gelisah melihat diri sendiri. Tidak pernah berusaha secara serius untuk mengupgrade kapasitas atau kemampuan. Ibarat komputer udah jadul, nggak pernah diganti tapi selalu mau main game terbaru. Alhasil kalo nggak misuh-misuh ya kemudian menjadi agresif terhadap orang lain yang dianggap kebih berkembang ketimbang dirinya. Menyalahkan orang lain jauh lebih gampang ketimbang menyesali diri sendiri kan?
Lantas apa akibatnya? Oleh karena tergoda untuk bisa menang tanpa melihat potensi diri sendiri, maka kecurangan pun terjadi. Maka nggak heran ketika orang berupaya untuk selingkuh, korupsi, menjadi kaya tanpa keringat dan usaha, atau tujuan-tujuan instan lain, sebenarnya adalah bentuk kecurangan yang bukan saja merugikan diri sendiri tetapi juga sekitarnya. Ogah jalan terjal sebagaimana kehidupan seperti biasa, maka mereka mengambil jalan singkat yang dianggap luar biasa. Kalo bisa dapet gebetan segera, bisa meraup banyak duit, bisa punya macem-macem, maka itulah ukuran sukses terpenting. Akan tetapi mereka lupa, bahwa setiap tindakan curang pasti punya ekses atau risiko tertentu. Sama seperti pasang game bajakan dan aplikasi cheat, mau diakali sedemikian rupa tetap saja bakal dianggap virus dan bisa membuat seluruh program menjadi crash, hang atau bahkan infected. Dengan demikian kenikmatan bermain menjadi terganggu karena sistem rusak dan error.
The more people rationalize cheating, the more it becomes a culture of dishonesty. And that can become a vicious, downward cycle. Because suddenly, if everyone else is cheating, you feel a need to cheat, too.
~Stephen Covey
Jadi memang benar tidaklah perlu bicara soal moral dan dosa. Mengelola resiko dalam kecurangan juga berbahaya. Mau sejauh mana hal itu bisa disiasati? Apalagi jika kecurangan semacam itu dirasionalisasi dan dibenarkan untuk dilakukan. Di sini semua orang tentunya sadar akan bahaya tersebut, tapi sedikit yang benar-benar bisa tergerak untuk dapat tergerak dan berbalik arah. Entah bego, buta atau dongo. Bisa jadi mereka tau tapi berhubung sudah muak dengan hidup yang begitu-begitu saja, maka tidak ada salahnya sekali seumur hidup untuk bisa tampil mempesona, tajir, keren, dikagumi, bermurah hati, buang duit, agar menjadi sebuah pencapaian. Pikirnya, ngapain gue capek-capek. Sesekali pengen makan yang laen dong ketimbang sayur asem doang? Aish, kalo gitu buang sayur asemnya aja untuk diganti. Tentunya nggak akan berani, karena cuma sayur asem yang tersedia untuk kasih makan. Suka atau nggak, harus ditelan. Selain itu curang jelas berbiaya mahal ketika risiko semakin meluas dan tidak dapat ditangani. Ini bukan saja soal citra atau nama baik, tetapi juga karakter yang dilihat merugikan.
Maka jangan curang, meski nikmat. Sebab hidup nggak ada yang nikmat instan.