Orang sering mengira, pelecehan itu adalah selalu berkonotasi seksual dan dengan demikian bersifat fisik. Mulai dari meraba, meremas hingga tindakan yang lebih jauh seperti perkosaan. Selain itu pelecehan juga dianggap identik dengan korban perempuan dan pelakunya lelaki. Padahal kalo mau jujur, itu cuma mitos. Sebab kenyataannya justru lebih luas dari sekedar sangkaan macem demikian. Lelaki juga dapat menjadi korban pelecehan hingga perkosaan meski jumlahnya relatif lebih sedikit. Sebab yang namanya tindakan kekerasan seksual, tidak memiliki data yang pasti karena banyak yang enggan mengadu. Apalagi lelaki, mungkin jauh lebih malu karena dianggap pula tidak berani melawan, cenderung menikmati atau bahkan dituduh bangga. Padahal lelaki kalo disuit-suitin juga merasa terhina, sama saja dengan perempuan.
Demikian pula dengan pelecehan verbal baik seperti rayuan gombal hingga kata-kata mesum. Tidak ada seorang pun yang bisa menikmatinya. Apalagi tanpa ada hubungan konsensual. Tapi tidak bisa dibantah pula bahwa banyak pelaku perkosaan adalah orang terdekat korban. Mulai dari teman, pacar, saudara bahkan orangtua. Sangat jarang orang asing melakukan hingga sejauh itu. Paling banter ya suat suit doang. Meski begitu jangan dikira bahwa pelecehan verbal adalah bentuk yang ringan. Sama sekali tidak. Mengapa? Sebab pelecehan verbal adalah salah satu bagian dari sekian banyak teknik yang digunakan untuk memanipulasi perasaan emosional. Dalam banyak hubungan interpersonal seperti pacaran atau suami istri, seringkali manipulasi itu dilakukan dengan tujuan untuk mendominasi hubungan. Banyak hubungan yang rapuh karena keterpaksaan, terlanjur sayang, buta mata hati, kondisi psikis atau kejiwaan yang rentan dan sebagainya. Namanya juga dagangan, tentu saja kesan pertama dibuat sebaik mungkin. Sehabis itu baru ketahuan isi tidak sesuai dengan bungkusnya.
Teknik memanipulasi yang paling umum adalah gas lighting. Ini dilakukan secara verbal atau tindakan menyiksa untuk merendahkan rasa percaya diri, ingatan, perspektif, bahkan kewarasan pasangannya. Jadi si korban akan terus bertanya-tanya dan lambat laun yakin bahwa dalam kejadian sekecil apapun dialah yang salah, keliru, bodoh, bahkan gila. Dalam situasi apapun maka itu adalah salah si korban. Manipulasi semacam itu jelas akan membuat seseorang jadi rendah diri, minder dan kemudian merasa bersalah jika meninggalkan pasangannya, atau bahkan menggantung semua keputusan kepada pasangannya. Kerusakan emosional yang terjadi akan membuat si korban menjadi tambah buta; enggan bersosialisasi, memutuskan hubungan dengan banyak pihak dan sampai mengasingkan diri dari dunia luar.
“Emotional abuse is designed to undermine another’s sense of self. It is deliberate humiliation, with the intent to seize control of how others feel about themselves.” ~Lorraine Nilon
Apakah selesai sampai di situ? Jelas tidak. Kini sampailah korban pada tahap engulfment. Meminta validasi terus menerus kepada pelaku bahwa apa yang dilakukannya adalah benar. Semua harus seijin pelaku. Bahkan tidak ada lagi privasi seperti misalnya ponsel atau akses personal yang kemudian dapat dibuka dengan bebas oleh pelaku. Mungkin buat pihak luar yang melihat dapat menyimpulkan secara sederhana soal harga diri. Akan tetapi buat korban yang sudah masuk terjerembab terlalu dalam akan sulit bisa melihat masalahnya sendiri dengan jernih. Bagaimana bisa jika dirinya sudah sedemikian gelap, tidak mampu berpikir rasional dan disiksa secara psikis? Maka pelecehan apapun adalah pintu masuk untuk membuat orang lain bisa semena-mena. Kelamin boleh ngaceng, tapi mbok ya pikir-pikir jika kenal sama orang dan mau dekat. Ibarat ngidam coklat bengbeng tapi dapetnya ampyang. Remahan pula.