Orang Endonesah demen dengan kisah-kisah mistis. Perdemitan dan sebangsanya. Tapi pernahkah mengalaminya langsung? Belum tentu. Lebih karena konon katanya. Kalo pun ditelusuri, biasanya berasal dari orang lain dengan bumbu yang sudah diracik dan ditambah. Amat jarang yang menyaksikannya sendiri atau langsung. Jadi kalimat awal yang muncul biasanya "Ini kesaksian teman saya" atau "Alkisah tetangga saya pernah cerita". Tapi kisah mistis yang dijadikan bahan komersial sekarang laris manis. Lihat saja film "KKN Di Desa Penari" . Sudah tembus pemirsa tayangan di bioskop dan kanal lainnya hingga 7 juta orang lebih. Sebuah angka yang sangat fenomenal dalam industri film lokal. Itu baru KKN, apalagi ntar kalo udah skripsi kan?
Tapi mengapa di tengah kemajuan teknologi dan idealnya perkembangan nalar rasional, orang masih suka cerita semacam itu? Jawabnya sederhana, sebab mistis menyajikan imajinasi hingga fantasi yang tidak didapat di dunia keseharian. Hidup sehari-hari sudah melelahkan, tidak ada kejutan, lebih banyak drama, no suspense; paling banter tegang ditagih hutang. Atau cinta bertepuk sebelah tangan. Serba monoton dan membosankan. Maka tidak ada salahnya jika harus ada hiburan yang menyangkut beda dunia. Biar nggak gitu-gitu amatlah. Di tengah masyarakat modern, ada rasa haus yang amat sangat terhadap kebutuhan untuk bisa menikmati hiburan yang tidak biasa. Maka tidak mengherankan jika narasi atau cerita mistis muncul di berbagai media sosial.
Selain itu, membangun narasi dan perwujudan terhadap demit itu mengasyikkan. Istilahnya, personifikasi hantu. Mengambil wujud rada-rada mirip manusia, tapi campur dengan entah binatang, postur yang tidak biasa dan wajah yang menyeramkan. Imajinasi harus cukup kuat supaya orang menjadi terkesan. Maka lahirlah segala bentuk wewe gombel, kuntilanak, pocong, tuyul, bahkan manusia setengah ular seperti Badarawuhi. Eh ini yang juga fiktif sebenarnya. Apa artinya nggak ada yang tahu, bahkan tidak lazim dalam bahasa Jawa sekalipun. Rawuh artinya datang, terus maksudnya apa? Mendatangi siapa?Semakin nggak jelas, semakin penasaran kan? Mereka mati penasaran, yang nonton juga tertarik dan jadi penasaran. Apalagi kalo sengaja dibuat agak detail seperti lokasi, waktu dan dampak peristiwa. Pancingan yang sungguh sedap dan membuat orang betah browsing mencarinya.
Padahal secara kultural, narasi mistis semacam itu sejak dahulu menjadi tumbuh dan berkembang menjadi legenda tersendiri dan berkaitan dengan praktek budaya yang ada. Narasi yang dibangun tujuannya bukan buat hiburan, tapi sebagai sebuah pelajaran hidup. Misalnya saja tuyul atau babi ngepet yang identik dengan mencuri uang, atau kuntilanak sebagai ruh perempuan yang mati gegara melahirkan atau korban kejahatan. Kok bisa? Di dalam masyarakat agraris, orang sangat menghargai upaya dan tindakan ekonomi yang nyata. Artinya mencari uang adalah efek dari transaksi yang bersifat material. Berarti jual beli adalah kelihatan barangnya. Jadi kalo ada orang yang mendadak kaya dan dilihat tidak jelas kepemilikannya, maka kecurigaan masyarakat menjadi pembenaran bahwa yang bersangkutan mendapatnya dengan jalan mistis. Entah nyupang babi ngepet atau piara tuyul. Benar atau tidak, nggak penting. Sebab narasi yang dibangun sudah jadi mitos tersendiri. Di jaman sekarang dengan adanya kerja dari rumah, nambang duit kripto atau disain grafis yang kagak keluar-keluar kamar, hal itu jadi irelevan. Tapi jika dilakukan di kampung, lu bisa tetap bakal dicurigai ngepet kan? Sama dengan kuntilanak yang dalam kacamata jaman now adalah korban patriarki. Kekerasan terhadap perempuan dan angka mortalitas melahirkan jaman dulu jauh lebih tinggi. Memberi narasi mistik adalah upaya deskriptif tentang apa yang terjadi saat itu sekaligus sebagai penanda, bahwa di daerah anu ada kejadian itu. Sehingga diharap orang tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Jadi benarkah hantu itu ada? Energi di alam itu bisa sangat beragam dan ada di mana-mana. Oleh karena hasil imajinasi terhadap bentuk energi alam yang sangat bervariasi, maka hasilnya bisa beragam. Ada orang yang melihatnya menyeramkan, ada juga yang tidak. Tergantung dari daya pikir dan batin masing-masing. Ada yang bilang naga, tapi kalo ada yang nyebut kambing terus kenapa? Nah, jadi dedemitan itu adalah proyeksi terhadap energi alam, tergantung dari perspektif dan mental manusia itu sendiri. Nggak heran jika seseorang takut terhadap hasil proyeksi tersebut, maka energi alam itu akan menyerap rasa takut dan semakin membuatnya takut. Jadi kalo nggak mau jumpa dengan demit, ya jangan takut lah. Cuma gegara kuping sudah mendengar ini itu dan mata mengolah hasil pikiran, ya terbentuklah apa yang selama ini jadi bayangan bawah sadar.
Berarti apapun wujudnya, energi alam semacam itu ada di sekitar kita. Selain itu, hal tersebut memberi bukti bahwa alam pikir manusia punya kekuatan tersendiri. Bisa berimajinasi dan kemudian memberikan wujud kepada energi atas olah pikir dan perasaan. Bayangkan jika manusia menginginkan sesuatu, maka dengan olah pikir dan perasaan yang fokus apapun tidak mustahil jadinya. Tapi konsep itu sudah mulai berubah terutama sejak Islam masuk ke Nusantara. Orang kemudian akrab dengan istilah djinn, qorin dan khodam yang dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri ketimbang hasil proyeksi. Kuasa pikir manusia mulai surut dan harus berhadapan dengan kekuatan tak kasat mata dan harus bisa dinegosiasi terus menerus dalam kerangka godaan serta dosa. Nggak heran jika lambat laun personifikasi hantu menjadi bertambah kuat dan terpisah dari manusia.
“In one aspect, yes, I believe in ghosts, but we create them. We haunt ourselves.” ~Laurie Halse Anderson, Wintergirls
Meski sudah kerap dianggap tidak relevan di jaman sekarang, imajinasi berupa narasi semacam perhantuan itu tetap dibutuhkan. Selain gegara soal hiburan, ada proses komodifikasi dan komersialisasi yang mengikuti. Singkatnya, perhantuan bukan lagi dinikmati dalam bentuk cerita kakek nenek ke pada cucunya menjelang malam sambil ngopi, ngudud dan ngemil pisang goreng. Cerita demit bukan lagi soal warning atau penanda tentang ajaran atau nilai moral yang diturunkan dari satu generasi kepada yang lain. orang bisa berbondong-bondong menikmati perhantuan dengan menonton di media massa hingga media sosial dengan beli tiket, follow or subscribe dan kasih jempol serta komen. Demit harus jadi menyeramkan tapi juga bisa sensual atau bahkan seksi, persis seperti banalitas narasi media soal penjual kopi cantik; mau kopinya apa kek, yang penting cantik dulu kan? Itu daya tarik yang dibangun. Jadi pemeran hantu yang berkelamin perempuan juga harus seksi dan cantik. Itu imajinasi tersendiri. Dibikin takut, tapi ada potensi ngaceng. Bayangin jika udah serem, masa' tubuhnya nggak enak dilihat pula. Body shaming ntar.
Terlebih dengan film terakhir soal KKN itu, sudah ada pembaruan pakem film hantu dari sebelumnya. Kalo dulu dibikin asal serem, sekarang jalan cerita dibuat lebih melingkar dan menarik penonton. Meski seksualitas tetap jadi bumbu, tapi sekarang nggak sevulgar jaman dulu pake perkosaan segala sebelum mati. Dulu ending-nya klasik; ada pemuka agama tampil sebagai pembawa solusi. Sekarang rerata dibikin menggantung biar ada sequel lanjutan. Masalahnya, para demit itu dapet apa? Paling banter dikasih sajen doang. Itu juga bagian dari cerita. Boro-boro ada royalti, persenan, atau komisi. Udah dibikin sebagai hasil imajinasi, diambil sebagai narasi, kemudian dikomersialisasi. Bayangin aja 19 hari tayang, 7 juta penonton, anggaplah rerata tiket 15 ribu Rupiah. Pendapatan bisa 105 Milyar dipotong biaya produksi dan promosi ya konon 15 Milyar saja. Gimana nggak gurih?
Lebih konyol lagi, sekarang orang rame-rame mencari pembenaran terhadap narasi mistis yang diciptakan. Lokasinya dimana, awal mulanya kayak apa, serta profil penokohan yang terlibat haruslah menjadi sesuatu yang faktual dan nyata. Narasi kemudian menjadi melebar kemana-mana. Sakit memang. Tapi itu bukti bahwa kapitalisme sungguh luar biasa. Situ takut soal perdemitan, tapi dibikin bayar buat nonton. Situ jiper ngelihat wujud menyeramkan tapi tetap dibuat penasaran dengan beli tiket. Walau demitnya sendiri tetap saja masuk dalam eksploitasi dari manusia kepada hantu, tapi gapapa lah yang penting jadi cuan kan? Udah gitu, tetaplah tegang di tengah hidup yang membosankan. Sukur-sukur ngacengan lihat Badarawuhi. Kalo iya, berarti ada narasi dan angle lain yang bisa dibangun. Siapa tau situ mimpi ada pilem lanjutan soal Skripsi di Desa Penari adult version. Lebih sakit dong ya.