Urusan perdemitan semakin laris di tipih dan media sosial. Wujudnya bisa narasi cerita horor, wawancara dengan pakar hantu di podkes atau yutub, jalan-jalan uji nyali mencari penampakan hingga kerasukan untuk bisa menggali informasi tentang dunia lain. Intinya, memancing rasa ingin tau bercampur takut atau ngeri sekaligus komodifikasi agar perdemitan bisa menghasilkan cuan. Lantas apa yang menarik dengan fenomena seperti itu? Muncul berbagai kanal bahkan figur publik baru yang sering dikaitkan dengan perdemitan. Ada yang demen ngumpulin orang untuk bertutur di media sosial soal pengalamannya ketemu wewe, pocong atau kunti. Entah benar atau tidak, nggak ada yang tau pasti. Entah ketemu sendiri atau menyaring dari cerita tetangga, nggak bisa dibuktikan. Itu sama kayak bikin narasi cerita bokep; kalo pun benar pengalaman sendiri pastinya nama, waktu dan lokasi kejadian disamarkan. Sebut saja Bunga, biasanya kan juga gitu.
Akan tetapi yang lebih menarik adalah upaya orang-orang tertentu untuk menyajikan perdemitan tadi dengan bahasa yang lebih ilmiah. Istilahnya, saintifikasi terhadap hantu. Maka bermunculan istilah yang baru dikenal publik seperti retrokognisi dan metode memanggil hantu untuk menggali informasi lebih dalam. Apa itu retrokognisi? istilah ini berasal dari bahasa Latin retro yang berarti mundur atau lampau, dan kognisi adalah pengetahuan. Secara etimologis berarti pengetahuan tentang hal lampau. Misalnya dalam berapa peristiwa pembunuhan, polisi bisa memanfaatkan jasa paranormal untuk datang ke lokasi atau dari jauh untuk melihat kembali runtutan kejadian. Cenayang ini dianggap mampu untuk menceritakan apa yang terjadi di masa lalu.
Harus diakui bahwa di belahan dunia mana pun memang ada orang-orang yang punya kemampuan seperti itu. Dengan demikian fenomena atau aktivitas paranormal yang berkaitan dengan retrokognisi adalah berkaitan dengan ranah parasikologi dan bukan psikologi. Artinya, retrokognisi bukan sesuatu yang bersifat ilmiah yang bisa diukur dan diuji baik validitas atau probabilitas dalam metode penelitian manapun. Psikologi sudah barang tentu ilmiah, sedangkan parapsikologi yang mencakup soal indra keenam, telepati, prekognisi alias ngerti sebelum terjadi, psikokinesis seperti memindahkan obyek dengan pikiran adalah bukan ilmiah. Masih banyak perdebatan yang belum selesai berkaitan dengan sudut ontologi, epistemologi dan posisinya di dalam sains. Hal yang sama juga terjadi dengan istilah metafisika. Di dalam filsafat, urusan metafisika atau di luar fisik adalah bicara soal konsep penciptaan dan realitas dalam arti luas. Sementara banyak orang yang melihat metafisika tidak jauh dari sekedar sesuatu yang tidak terlihat. Balik lagi soal perhantuan kan? Maka nggak heran jika ranah antara pseudo-sains atau sains non metodologis dan sains beneran itu sulit dibedakan dalam kacamata awam. Misalnya antara Neuro Linguistic Programming atau NLP yang lazim digunakan motivator, jelas beda dengan Neuro Science yang menyangkut bedah syaraf. Astrologi beda dengan astronomi meski sama-sama menggunakan istilah perbintangan. Parasikologi sudah pasti beda dengan psikologi. Semua sama-sama ilmu pengetahuan, tapi derajat ilmiahnya sudah pasti beda.
Demikian juga metode memanggil hantu. Entah dengan kerasukan menggunakan medium orang atau bahkan ada juga yang mendengar karena bisikan. Keduanya juga termasuk di dalam kategori non ilmiah dan berbeda dengan metode riset yang biasa digunakan orang dalam ruang ilmiah. Misalnya saja dalam konteks psikologi atau marketing, riset dilakukan dengan bentuk kualitatif seperti wawancara terhadap responden atau narasumber. Untuk mendapatkan hasil interview yang berkualitas, sudah pasti ada prosedur perekrutan termasuk quality control untuk mendapatkan narsum yang sesuai. Bandingkan saja dengan yang kerasukan itu. Entah benar ada yang masuk atau tidak, kalo pun yang masuk juga nggak bisa ditanya identitasnya, kalo pun ditanya bisa saja ngaku macem-macem yang nggak jelas. Bilang dulunya raja dari masa lalu, nggak taunya dedemit sumur sebelah. Hasilnya? Tidak ada informasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebab semua masih juga konon katanya. Orang yang mengklaim sebagai paranormal dan menjelaskan soal pembunuhan saja masih harus dicek silang untuk informasi yang diberikan, apalagi hantu blau entah apa yang nongol dan ngaku jadi raja.
Maka upaya-upaya untuk menjadikan retrokognisi, metode pemanggilan dan hal lain yang masuk ranah parapsikologi sangatlah sulit untuk disebut ilmiah. Kalo pun dipaksakan, jadinya ya pseudo-sains alias nggak jelas metodenya. Mengapa demikian? Pertama, dari contoh di atas terlihat fenomena itu besifat subyektif; tergantung siapa pelaku. Beda orang sudah pasti beda hasil, beda perspektif dan beda kesimpulan. padahal standar ilmiah di mana pun juga adalah berusaha seobyektif mungkin. Kedua, tidak ada prosedur standar baku yang berlaku umum yang dapat diukur atau diuji. Tergantung lagi konon katanya kekuatan energi si pemanggil atau yang datang. Itu pun tak kasat mata. Subyektif lagi. Repot kan jadinya. Ketiga, rawan penipuan. Itu sering terjada fenomena seperti upaya menarik benda seperti batu akik atau keris dari 'alam gaib' hingga berwujud di dunia nyata. Bisa jadi bendanya sudah disiapkan terlebih dahulu. Kalo pun bersikeras ada yang bisa begitu, umumnya benda tarikan dari alam gaib itu jelek-jelek. Mana ada berlian atau keris berlapis emas dengan nilai seni tinggi? Dengan modal sedikit, jangan harap ada pertunjukan mewah di situ. Apalagi manggil demit; udah mintanya macem-macem banyak kibulnya ya nggak ada yang bisa tau informasi yang diberikan itu benar atau tidak. Datang dijemput dipanggil-panggil, pulang minta diongkosin.
Saintifikasi atau upaya pengilmiahan terhadap dunia demit itu jadi menggelikan. Di satu sisi, orang jadi merasa besar kepala bahwa apapun harus bisa diterjemahkan dengan ilmiah tanpa melihat batas-batasnya. Dunia gaib atau hal yang tidak bisa dijelaskan itu ada. Akan tetapi sepanjang manusia memang punya batasan dalam nalar untuk memberi deskripsi tentang hal itu, sebaiknya cukup berhenti sampai di situ saja. Dengan kata lain, ada banyak fenomena yang memang tidak perlu untuk dijelaskan hingga suatu saat nanti perkembangan ilmiah dan teknologi mampu menjawabnya secara perlahan. Itu sama seperti dulu orang takut terhadap gerhana dan berhenti pada penjelasan bahwa bulan dimakan raksasa. Mitos dibutuhkan sejauh itu belum bisa dijelaskan oleh akal. Ketika fenomena gerhana sudah bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, maka mitos nggak dbutuhkan lagi. Tugas mitos sudah selesai di situ. Tapi dasar manusia, semua dicampur aduk sehingga tidak jelas antara mana yang butuh mitos dan mana yang butuh deskripsi ilmiah. Mitos dicoba dijelaskan pake metode nganu ngono seolah ilmiah, sementara yang sudah ilmiah malah ditinggal. Bukankah begitu, wahai penganut bumi datar?
“There's a difference between an open mind and an empty head.” ~Abhijit Naskar, All For Acceptance
Di sisi lain, komersialisasi pseudo-sains semacam itu jelas menghasilkan cuan. Dipanggil manggung sana sini, bikin acara keliling investigasi bercampur penyembuhan, masuk tipih, jumlah follower, subscriber, likes dan comments naik drastis, penghasilan nambah kan? Publik pun juga semakin tidak teredukasi dengan baik karena target awal sesungguhnya memang tidak lebih dari hiburan belaka yang lamban laun membangkitkan delusi kolektif alias singit bareng-bareng. Hantu bisa mendadak komersil tapi tetap saja jadi konsumsi pertunjukan. Nggak cukup dengan hiburan seperti film Disertasi di Desa Penari, orang semakin terpancing rasa penasaran untuk bisa lebih tau profiling siapa Badarawuhi, apa wujud dan wajahnya, tinggal dimana, siapa suaminya, siapa tetangganya, pulang pergi naik ojol atau dijemput supir, berapa anaknya, sekolah dimana hingga delusi itu menghasilkan segudang data yang dipuaskan oleh para selebriti horor. Tunggu saja hingga hype selesai, maka tugas tim kreatif untuk mencari demit baru kan?