Orang bilang kalo semakin dewasa itu idealnya adalah sosok yang semakin bertanggung jawab, mampu mengendalikan emosi, berpikir masak sebelum bertindak dan mau menerima kenyataan sepahit apapun. Konon katanya begitu sebagai ciri orang dewasa. Akan tetapi ternyata nggak mudah kan? Umur terus bertambah, kesempatan hidup makin berkurang, sedangkan di luar sana banyak hal yang tidak bisa dikendalikan begitu saja. Begitu berkaca, diri sendiri juga seringkali di luar kontrol. Nah, gimana nggak kecut asem jadinya. Sebab tidak semua proses bertambah usia seseorang adalah berbanding lurus dengan kedewasaan yang dimiliki.
Tanggung jawab adalah syarat kedewasaan untuk mengambil alih atau peran, melaksanakan kewajiban dan juga mengerjakan apa yang memang menjadi sebuah keharusan. Ini berlaku tidak saja dalam konteks personal, tetapi juga profesional. Artinya, suka atau tidak maka peran, kewajiban dan tugas itu harus dikunyah dan ditelan. Apalagi jika masuk dalam sebuah angan yang mau diwujudkan dalam bentuk rencana. Ketika rencana mau dieksekusi, banyak juga yang lari lintang pukang. Entah karena sudah terlanjur banyak omong menyanggupi, atau tetiba menyadari bahwa diri ini tidak punya kompetensi. Di jaman sekarang itu jadi hal yang lumrah, karena ngemeng kecap jauh lebih meyakinkan. Namanya juga membentuk impresi agar dilihat sebagai sosok yang mumpuni. Padahal nggak lebih dari sekedar polesan doang. Dengan demikian tanggung jawab adalah bentuk konkret dari ucapan yang harus dilakukan. Mulai dari janji, kesanggupan, konsekuensi dan resiko.
Itu juga menandakan bahwa idealnya pula adalah pikir-pikir sebelum ngemeng, apalagi bertindak. Mengumbar janji adalah tanda bahwa yang bersangkutan sebenarnya tidak yakin atau tidak pede, tidak ingin kelihatan mengecewakan orang lain, dan mau menunjukkan bahwa apa yang diucap adalah perkara mudah. Lagi-lagi kenyataannya nggak gitu kan? Nah, begitu ditagih kontan jadi baper, sensi, ngambegan, tersinggung dan menganggap diri diremehkan sekelas receh padahal memang begitu adanya. Itulah sebab perkara kenapa orang menjadi emosional. Ini bukan soal pola komunikasi yang keliru macam salah tanggap atau salah kira, tapi sebagai pelampiasan rasa malu gegara ketahuan nggak bisa apa-apa. Menyalahkan orang lain bahkan menuding mereka sebagai biang pangkal permasalahan adalah nggak guna. Kalo bahasa kekinian kayak gitu disebut sebagai pengalihan isu. Itu ada benarnya juga, lantaran malu maka menyalahkan dan melempar tanggung jawab. Mimpi tetap berjalan terus meski basah berceceran.
"Everyone knows that life isn't fair. Saying it's not fair suggests that you think life is supposed to be fair, which makes you look immature and naive." ~Travis Bradberry
Akibatnya tidak pernah ada kenyataan yang mau diterima begitu saja. Menolak untuk mengaku kalah apalagi salah. Di satu sisi ini sering dianggap sebagai sebuah sikap positif dan pantang menyerah. Akan tetapi di sisi lain sebenarnya adalah wujud dari cara kekanak-kanakan untuk menyangkal ketidakmampuan. Jadi dewasanya dimana? Cuma usia saja yang jadi patokan atau hitungan. Uniknya, semakin uzur maka perilaku bocah semacam itu jadi tumbuh subur. Mengapa? Pertama, tidak ada kapasitas yang dibangun untuk melakukan refleksi diri sejauh apa yang diyakini dengan kelewat pede adalah benar. Paling banter diri ini hanya keliru salah tempat dan salah waktu. Mau berkaca sudah pasti salah orang lain. Kedua, dengan kebiasaan untuk terus bertumbuh dan berkembang ke arah seperti itu sudah pasti punya resiko. Memelihara gengsi setinggi langit dengan kepala mendogak, tapi tanpa sadar mimpi basah berceceran itu sudah jadi kotoran yang nempel di kaki. Mau seperti apapun, sudah yakin bahwa cara-cara yang diambil adalah sahih adanya. Ketiga, jika terjadi sesuatu yang di luar dugaan atau tidak dapat dikontrol, maka paling mudah adalah dengan melarikan diri dan melempar tanggung jawab. Misalnya kalo ada yang gagal ya lepas tangan adalah cara paling gampang untuk dilakukan.
Maka menjadi dewasa adalah proses yang mahal harganya. dewasa bersifat rellatif sedangkan tua itu absolut atau mutlak. Tidak semua orang mampu untuk benar-benar punya niat atau komitmen, punya konsistensi, menjalankan atau bahkan mengambil alih peran dan menerima kenyataan pahit sekaligus. Terlebih di dalam diri setiap orang ada sisi kekanakan yang tetap ada dan dipelihara. Mau seperti apapun, jiwa bocah itu meronta dalam tubuh yang semakin menua. Gaya boleh keren, berasa paling oke, omongan meyakinkan serba bisa. Akan tetapi begitu ditodong, dikonfrontasi atau ditagih bakal mendelik. Kentut ajalah kan jadinya.