Salah satu bentuk perasaan yang sering dianggap jadi masalah bahkan penghambat hidup adalah rendah diri. Akan tetapi jangan bayangkan bahwa rendah diri itu selalu muncul dalam ekspresi ogah tampil, pemalu, atau bahkan memberi label diri seperti introvert. Itu sebenarnya irelevan alias nggak ada hubungannya. Rendah diri bisa tampil dalam banyak wajah. Bisa jadi malu atau sebaliknya nggak tau malu. Bisa jadi diam atau malah sebaliknya brisik. Kok bisa? Sebelum sampai ke sana, ada baiknya dulu melihat kenapa sih orang bisa menjadi rendah diri. Penyebabnya ternyata lumayan banyak. Semisal yang paling umum adalah kebiasaan membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Di luar sana dengan manusia yang begitu beragam, wajar jika ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Melihat yang lebih rendah cenderung diabaikan, tapi melihat yang lebih tinggi awalnya bisa kagum sekaligus cemas kapan bisa kayak gitu. Nah, kelamaan mendongak ke atas emang bikin pegel kan? Apalagi kalo sudah mulai jadi perfeksionis; merasa harus bisa untuk menggapai ke atas. Dikit-dikit nggak boleh salah. Oleh sebab itu setiap ada kritik yang muncul, selalu ditanggapi dengan serius. Sudah perfeksionis, anti kritik, ya ujungnya merasa diri penting dan dibutuhkan. Tapi gegara nggak kesampaian, minder pun muncul. Dalam konteks ini, menutupi rasa rendah diri adalah dengan sikap agresif seperti arogan, tengil, sok iye atau belagu sebagai tembok besarnya.
Sama halnya dengan mereka yang merasa bahwa dirinya tidak diterima oleh dunia luar dan harus menyembunyikan "jati diri yang sesungguhnya". Tipe ini justru beranggapan harus dapat memberi kompensasi dengan bersikap menuruti apa yang diinginkan orang lain. Istilahnya ya people pleaser. Semakin membandingkan diri dengan yang lain, maka semakin berasa rendah sehingga untuk bisa menyesuaikan dan diterima maka jalan yang ditempuh adalah dengan menyenangkan atau memuaskan orang lain secara konstan. Meski demikian, baik yang bersifat agresif atau pasif dalam merefleksikan perasaan rendah diri itu, keduanya jelas merugikan. Pertama, apa yang dibangun jelas bukan identitas diri yang sebenarnya. Tampil nggak mau kalah atau menyenangkan orang lain adalah tindakan yang bukan saja keliru, tapi jelas menjauhkan diri dari bagaimana seharusnya orang membangun rasa percaya dan yakin dengan apa yang dimiliki. Kedua, pilihan apapun yang dilakukan dalam konteks minder itu jelas memperlihatkan adanya rasa haus akan pengakuan dari lingkungan sosial. Kasarnya ya pengen dianggep, daripada cuma jadi kentut; ada baunya doang tapi nggak ada wujudnya. Padahal pengakuan itu jujur saja nggak penting-penting amat. Sebab yang namanya membangun karakter sudah pasti jauh lebih penting. Perkara orang mau bilang positif atau negatif itu adalah semata opini yang membentuk kesan dan jelas nggak bisa dikontrol. Emangnya lu mau cuma dibilang baek sopan dengan ngandelin omongan orang gitu? Selain nggak bisa dikontrol, ya people come and go. Orang datang pergi sesuka hati. Nggak ada yang selamanya. Jadi ketahuan kan, kenapa ada orang yang berteman itu-itu aja karena sudah merasa nyaman dengan impresi atau kesan yang dimiliki. Kagak kenal banyak orang, sebab bakalan repot membangun citra positif berulang kali. Gimana nggak ribet tuh.
Akan tetapi hal terburuk adalah di jaman sekarang dengan adanya media sosial justru membuat rasa rendah itu semakin bermunculan, bahkan berlebihan. Minder mengiris hati ketika melihat ada orang lain yang kelihatan lebih bahagia, lebih sukses, lebih pinter, lebih keren, lebih tajir, lebih bisa menikmati hidup ketimbang situ. Bagi yang mindernya pasif ya paling banter ngedumel, kelewat mikir, dan ujungnya bolak balik puasa buka medsos. Temboknya makin tebal. Tapi nggak tahan juga sih karena bisa gatel ngintip penasaran juga kan? Jadi tetap saja itu tembok dibuat bolong buat sarana memantau sampe bintitan. Buat yang rendah dirinya agresif, maka hal kayak gitu jadi tantangan untuk bisa bikin posting tandingan. Temboknya makin tinggi. Apapun akan dilempar karena harus ada yang bisa jadi seteru. Tapi beranikah komentar langsung? Kagak. Sebab media sosial hanya jadi bahan masturbasi psikis. Kepuasan untuk bisa memberi sesuatu secara reaktif dan pastinya akan ditanggapi oleh teman yang itu-itu aja. Dikit-dikit kok minderan.
Jadi rasa minder atau rendah itu bisa mengerikan. Di satu sisi inferiority complex merusak kepercayaan diri karena nggak yakin sama diri sendiri. Membandingkan dengan orang lain adalah perbuatan yang sia-sia, tapi kerap dilakukan karena dianggap jadi ukuran yang ideal. Ujungnya ya cuma bisa ngelus dada kenapa nggak pernah bisa. Ya wajarlah sebab segala tindakan yang sejauh ini dilakukan hanya untuk kepentingan orang lain. Di sisi lain, rasa nggak pede atau terlalu pede itu merusak persepsi terhadap orang lain yang mungkin nggak ada urusan atau sangkut pautnya. Alih-alih mengembangkan diri, malah cuma jadi proses mimikri yang penuh keraguan. Gegara sebal lihat orang main bola, maka jadi kritikus bola meski nggak pernah main bola. Gegara mangkel lihat orang lain nulis, maka jadi memberi label penulis meski cuma bisa forward tulisan orang. Gegara jengkel lihat aktivitas budaya orang lain, kontan menjadi budayawan dadakan meski hidup sehari-hari juga nggak berbudaya.
Oleh karena itu, rasa rendah diri harus bisa diganti dengan rendah hati. Nggak perlu selalu mendongak ke atas atau sebaliknya, nunduk terus ke bawah. Rendah hati adalah kemampuan untuk bisa menerima apa adanya, tanpa harus terpengaruh oleh situasi eksternal atau di luar diri. Jadi kalo nggak ada yang bisa dipamerin ya jangan dicari-cari. Kalo kebetulan dipamerin, niatnya ya memang untuk sekedar informatif alias ada dan bukan bermaksud menyombongkan hingga ke akar-akarnya. Sampai di sini pun, banyak juga yang keliru menafsirkan rendah hati. Sebab dianggap cuma sebagai bentuk egoisme dengan senyum, atau sifat nggak mau bereaksi terhadap orang lain. Wajarlah, ngapain juga harus serba reaktif kan? Mengurus diri sendiri aja susah, kok ngurusin orang. Apalagi minder sama orang lain. Buat apa?