Seorang musisi tingkat nasional pernah bercerita sebuah kejadian yang menohok dirinya saat sedang menikmati sebuah pertunjukan musik di sebuah kafe di Bali. Pada saat itu, situasi sedang amat sepi. Si penyanyi tetap melantunkan suara meski hanya sedikit orang yang hadir, tidak banyak yang memperhatikan, tidak ada juga tepuk tangan dan pujian. Musisi ini kemudian berjalan menuju belakang panggung dan berbincang dengan si penyanyi. Ia bertanya, mengapa tetap terus bernyanyi meski tidak ada yang memperhatikan sama sekali? Jawaban si penyanyi cukup mengejutkan dirinya. Ia mengatakan bahwa apapun kondisi yang sedang dihadapi, dirinya harus tetap bernyanyi. Sebagai sebuah pekerjaan profesional, ada banyak orang yang mengantri di belakang dirinya untuk mendapatkan kesempatan itu. Jawaban tersebut menurut musisi adalah sebuah tamparan yang cukup keras. Betapa tidak, pada level nasional sekali pun ia masih merasa butuh apresiasi dengan menimbang respon, antusiasme dan jumlah yang menonton kala manggung. Si musisi tidak mampu membayangkan jika di kelas kafe, hal tersebut bukanlah ukuran bagi si penyanyi.
Mengapa demikian? Sebab orang sering lupa bahwa profesionalisme itu punya dua wajah depan dan belakang. Wajah depan memang mengandaikan adanya tuntutan berupa apresiasi eksternal entah baik sambutan, bayaran tinggi, keluasan seperti popularitas atau juga reward bagi pekerjaan yang dilakukan. Wajah belakang adalah tanggung jawab, kedalaman seperti penguasaan bidang, kompetisi dan juga apresiasi internal seperti rasa bersyukur, perilaku, improvements atau pengembangan agar kualitas semakin lebih baik dan terjaga. Masalahnya adalah, wajah ke depan itulah yang dianggap sebagai sebuah indikator pencapaian. Wajah depan profesionalisme menjadi ukuran keberhasilan yang harus bisa diraih sedemikian rupa. Orang menjadi beranggapan bahwa semakin populer, laris, bayaran tinggi, disukai adalah sukses yang melekat dengan being professional. Tapi wajah belakang itu justru kerap diabaikan. Dalam situasi dan kondisi terburuk sekali pun, mampukah orang menjadi profesional? Mampukah ia menyadari bahwa dengan tuntutan yang semakin tinggi dari publik, pengguna jasa atau pihak luar maka ia juga harus bisa menuntut dirinya agar tetap menjaga kualitas? Mampukah ia tetap menjaga standar yang sama ketika apresiasi eksternal itu belum hinggap pada dirinya?
Oleh sebab itu, being professional bukanlah soal status semata melainkan cara berpikir, bertindak, kebiasaan dan juga pola yang harus dijaga sekaligus dikembangkan. Menjadi profesional bukan soal sekedar mendapatkan apresiasi tetapi juga memiliki komitmen dan konsistensi. Menjadi profesional adalah kesanggupan untuk bekerja dalam keriuhan bahkan senyap sekalipun. Tidak ada yang dapat menggantikan dengan alasan yang permisif, terdesak, butuh atau insidental. Nah kebanyakan orang biasanya kan baru bergerak kalo sudah demikian. Entah karena kepepet atau harus ada duit, jadi motif yang kemudian memaksakan diri untuk nyebur kesana sini. Ada juga yang modal nekad pengen segera dapat hasilnya, tapi proses untuk memulai dipotong sepanjang mungkin. Itu sama kayak pengen dikenal, diakui dan dilihat sebagai profesional, tapi hanya sebatas superfisial alias di permukaan aja. Emangnya bisa? Kekuatan media sosial mampu untuk membuat orang terkenal, tapi secepat itu juga menghilang jika tidak ada karya atau hasil yang dibuat dan pertahankan.
"Being a professional is doing the things you love to do, on the days you don't feel like doing them." ~David Halberstam, Everything They Had: Sports Writing
Maka menjadi profesional adalah dengan memainkan dua wajah itu sekaligus. Tidak ada yang dapat berkembang hanya dengan membangun semata kualitas tapi tak pernah diperlihatkan. Sebaliknya, tidak ada juga yang hanya modal tampil tapi nggak ada isinya. Lain hal kalo cuma buat senang-senang, nggak butuh dipuji, nggak pengen duit atau sekedar upaya amatiran memuaskan hati. Ngabisin waktu sih iya, kayak nggak ada kerjaan serius aja. Tapi kalo mau beneran profesional, juga bukan sekedar ngarep bayaran dan tepuk tangan. Ada kondisi yang harus terus menerus dijaga dalam situasi seperti apapun. Tapi begitulah manusia. Di satu sisi ogah kasih upaya maksimal karena tau dirinya punya keterbatasan, tapi di sisi lain pengen dapet hasil maksimal meski yang dilakukan juga itu-itu aja. Baru mau bergerak kalo udah terpaksa atau ditendang pantat. Tapi giliran soal bayaran udah antri paling depan dan selalu merasa kurang. Lebih buruk lagi adalah nggak pernah mau ngaca dan menyelahkan orang lain jika ekspektasinya meleset terhadap apresiasi eskternal yang diterima.
Profesional kagak, amatir nanggung, kentut doang dong jadinya.