Gegara ribut-ribut soal dukun yang konon katanya di jaman sekarang entah mata duitan atau cabul, hampir semua orang terseret dalam pusaran perdebatan mengenai profesi yang sangat tua di dalam sejarah peradaban manusia itu. Apalagi kalo sudah pake bumbu agama secara saklek; ngomong hitam atau putih, boleh atau tidak boleh. Ujungnya ya pasti bicara dosa bahkan masuk neraka segala. Mengapa jadi ribut? Terlebih di jaman serba digital dan serba mungkin saat ini, seseorang bisa saja mengklaim diri sebagai dukun. Pake beli keris nyetrum di online market place segala yang umumnya orang blom ngeh itu ada.Ujungnya publik semakin mencemooh dan terbelah antara pro kontra, hingga mencapai kesimpulan bahwa dukun yang bener ya cuma dukun bayi atau beranak. Itu pun kalo nggak ada bumbu horror segala. Akan tetapi apa iya beneran sampe segitunya?
Istilah dukun sendiri sebenarnya nggak terlalu jelas. Ada yang mengatakan itu berasal dari bahasa Persia dukkan yang berarti orang dengan kemampuan untuk mengobati. Ada juga yang mengatakan kata dukun itu ada dalam bahasan Dr. Jennifer Nourse, seorang antropolog yang meneliti suku Lauje di Donggala Sulawesi Tengah. Buku Nourse, peneliti asal Berkeley yang juga belajar di Universitas Kristen Satya Wacana itu berjudul Conceiving Spirits: Birth Rituals and Contested Identities Among Lauje of Indonesia (1999). Jadi dukun adalah istilah bahasa Indonesia seperti halnya Melayu untuk bomoh, yakni orang yang memiliki peran sosial baik sebagai penyembuh, perantara ruh, ahli tradisi dan kebiasaan di dalam komunitasnya, dan juga dilihat sebagai orang yang menguasai daya lebih melalui ilmu atau kemampuan yang dimiliki seperti meramal, memikat bahkan menyakiti orang lain. Dengan demikian dukun adalah orang yang dianggap 'sakti' dalam konteks tersebut. Intinya, orang yang punya kelebihan, karunia, karomah anugrah dan sebagainya dibandingkan yang lain. Baik dukun atau bomoh kemudian ditranslasi ke dalam bahasa Inggris sebagai shaman, witch doctor atau medicine man.
Hal yang menarik adalah jika dilihat dari kajian sisi antropologi, maka peran sosial seorang dukun sebenarnya memiliki wajah ganda. Di satu sisi, ia menonjol sebagai sosok dengan pengetahuan lebih yang dengan segala kerahasiaan atau keterbatasan menjadikan dirinya sebagai figur yang sangat menentukan di dalam level horizontal kemasyarakatan. Misalnya, orang yang bisa membaca tanda-tanda alam, menarik kesimpulan dan memberikan masukan kepada komunitas atau habitatnya akan menjadi acuan tetap dalam urusan tanam, panen, berpindah, kelahiran dan kematian. Pengetahuan tertutup seperti ini di masa lalu sangat berguna dan menjadi pegangan. Apalagi hanya dikuasai secara oral atau verbal. Secara tertulis aja apalagi; macem kitab suci juga jadi pegangan hanya bagi para pemuka agama jaman dulu dan orang lain nggak ada yang boleh tau. Bukankah itu wujud kekuasaan juga?
Di sisi lain, seseorang dengan pengetahuan tersebut pada jamannya akan menarik penguasa untuk dapat secara rutin memberikan saran, masukan, usulan bahkan juga pengaruh secara politik. Maka tidak mengherankan jika seorang dukun di masa lampau dapat menjadi penasihat raja, hidup dengan segala privilese, dijamin kemakmurannya sepanjang dapat berkompromi dan juga memberi legitimasi secara supranatural dalam langkah-langkah politik kekuasaan. Menjadi seorang dukun sama saja dengan memiliki posisi tinggi baik ketika berhadapan dengan penguasa atau masyarakat. Dengan demikian orang bisa saja bertanya, tetapi juga tidak semudah itu karena harus dapat pula menafsirkan dan kemudian menerapkannya. Namanya juga pengetahuan tertutup kan? Penafsiran juga sudah pasti berdasarkan konsensus, sehingga muncul mana yang boleh seperti kewajiban, kebiasaan dan kemudian tradisi. Ada juga yang tidak boleh dan berkembang menjadi pantangan, pamali atau pelanggaran dengan konsekuensi tertentu.
Lantas bagaimana di masa sekarang? Pengetahuan semacam itu sudah dirampas baik oleh teknologi, agama bahkan politik untuk menentukan sebuah gerak masyarakat agar sesuai dengan keinginan penguasa. Dianggap sudah kuno, penuh dengan tahyul dan klenik sebab memang tidak ada narasi yang bersifat terbuka tentang itu. Pengelolaan pengetahuan seperti pencatatan, pencetakan dan diseminasi juga berkembang pesat sehingga semua orang minimal bisa tahu meski belum tentu paham. Kalau pun ada, monopoli penguasaan pengetahuan juga menjadi penting. Jika semua orang tau, ya nggak ada artinya jadi dukun. Selain itu kekuasaan formal di jaman sekarang relatif tidak membutuhkan lagi segala bentuk saran dan struktur politik yang mengandalkan wibawa persona. Inget kan bagaimana Rasputin dibunuh dan kemudian Revolusi Rusia terjadi? Akan tetapi, buat sebagian orang perdukunan di masa lalu itu tetapkah menarik dan sebisa mungkin dibawa dalam kerangka narasi jaman sekarang. Okelah pak Presiden nggak mungkin ngangkat Dukun Negara atau Duta Dukun sebab sudah ada lembaga negara yang melakukan fungsi untuk memberikan masukan. Tapi masyarakat Endonesah kan masih lugu dan ambigu. Lugu karena nggak paham secara historis perdukunan itu kayak apa, ambigu karena penasaran ngeri-ngeri sedap mau bisa mewujudkan keinginannya secara instan tapi dikit-dikit mikir agama.
Akhirnya yang laris bukan lagi dukun model jaman dulu yang memang punya pengetahuan dan kuasa, melainkan dukun jaman sekarang yang pengen secara instan bisa merasakan nikmatnya nyuruh-nyuruh orang, membuat terpukau sekaligus mencapai tujuan material yakni mengosongkan dompet para klien mereka. Hal itu jelas dibahas oleh Kenneth Yeung, Something Wicked This Way Comes (2017) yang secara gamblang memperlihatkan bahwa kepercayaan masyarakat yang naif terhadap hal-hal supranatural membuat mereka gampang ditipu. Lahirlah para penipu dan kriminal seperti pengganda uang, penjahat pemetik bunga, hingga penjanji untuk bisa bikin kebal, dicintai, mampu menghabisi dengan sekejap, pokoknya sakti mandraguna merwibawa. Kalo pun ada yang seolah bener seperti jadi pawang hujan ya kebanyakan marketing gimmick, jadi mau tetep kuyub ya bodoamat. Selain itu, pencapaian tertinggi di era digital adalah popularitas. Bisa diundang pejabat, adsense mengalir, follower dan likes bejibun, duit bisa dateng sendiri kan?
Kini orang yang menjadi korban dan kapok, atau gerah melihat penipuan semacam itu kemudian melakukan perlawanan yang kini marak dengan menolak segala hal yang berbau perdukunan, bahkan dengan mengatasnamakan agama. Praktek perdukunan dianggap bertentangan dengan keyakinan sehingga harus dienyahkan. Masalahnya, perdukunan yang mana? Sebab untuk menjadi kriminal dan penipu, perdukunan hanyalah salah satu dari sekian banyak modus yang bisa dilakukan. Orang yang punya narasi pengetahuan linuwih sebagaimana di masa lalu mungkin masih ada dan bisa dihitung dengan jari. Itu pun sangat kecil kemungkinannya untuk bersinggungan dengan praktek kuasa seperti di masa lalu. Selain itu, tujuan berupa keuntungan material hampir tidak pernah menjadi sasaran buat mereka yang berada di dalam pencarian spiritual, entah mistik atau supranatural. Sebaliknya, main-main klenik, adu kesaktian, pamer adu urat di medsos ya ujungnya adalah cari makan buat para dukun palsu.
“What people resist the most about spiritual healing is changing their minds.” ~Kelley Harrell
Maka jalan sunyi dan sempit adalah jalan para dukun beneran di jaman sekarang yang boleh dibilang sudah tersisih gegara teknologi, budaya dan juga politik yang semakin menggerus peran mereka. Sebaliknya yang abal-abal itu tambah banyak. Entah karena takut digilas kemajuan karena sebenarnya nggak bisa apa-apa, atau cari peluang untuk bisa mencapai ketenaran dan popularitas romantik sebagaimana para dukun di masa lampau. Masih belum bisa melihat? Makanya buka mata lebar-lebar.