Jika bertemu dengan orang yang baru dikenal dan ternyata banyak relasi yang juga mengenalinya, maka orang cenderung berkomentar; dunia sempit ya? Memang seperti itulah dunia. Meski penduduknya bermilyar-milyar, tapi dalam satu habitat seperti satu kota saja akan ada yang mengenali. Apalagi jika merunut kehidupan seseorang yang tumbuh besar mulai dari lingkungan tempat kelahiran, sekolah, bekerja dan beraktivitas; maka relasi entah kenal atau hanya sekedar tau bisa ditemukan. Jejaring semacam itu walau tipis tetap akan membuat reputasi seseorang bisa dikenal dengan mudah. Dengan adanya media sosial di jaman seperti ini, sudah sewajarnya jika orang memperhitungkan bahkan sebagian berhati-hati ketika dirinya akan dikaitkan atau dihubungkan oleh orang lain.
Akan tetapi dengan dunia yang sempit itu ternyata banyak juga keuntungan yang bisa diraih. Reputasi yang baik tentu akan memudahkan dirinya dikenal bahkan oleh orang yang baru mengetahuinya. Sebaliknya, reputasi yang buruk tentu akan cepat menyebar luas. Reputasi di sini bukan saja yang bersifat personal tetapi juga profesional. Pekerjaan bisa datang dan pergi karena ada pengakuan umum yang meluas dan dapat dilihat oleh orang lain. Dunia yang sempit kemudian juga membuat orang harus mampu beradaptasi dengan cepat. Di satu sisi, disadari atau tidak akan selalu ada kompetisi untuk bisa mengambil ke sempatan yang ada. Di sisi lain kerjasama atau kolaborasi adalah hal yang bisa jadi memungkin untuk dikerjakan bersama. Contohnya adalah ketika beberapa perwakilan perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama dikumpulkan menjadi satu. Akankah mereka gontok-gontokan bersaing? Belum tentu. Bisa jadi ada kerjasama, bisa jadi ada forum untuk saling memberi info, bisa jadi ada proyek sampingan yang kemudian membuat mereka menjadi semakin mengenal dan erat secara profesional.
Oleh karena itu, sebuah organisasi bahkan individu tidak dapat bergerak sendirian di tengah dunia yang semakin sempit ini. Suka atau tidak, kalo nggak bisa mengalahkan ya harus siap gandeng tangan. Ini kelihatannya mudah, tapi tidak sesederhana di dalam praktek. Sebab banyak orang yang sudah terbiasa hidup di alam yang homogen; udah temennya itu-itu doang, spesiesnya sama pula. Begitu dilempar ke lingkungan yang lebih majemuk kontan kalang kabut, defensif bahkan parno. Terlebih jika mereka masih harus mengandalkan ego yang sangat besar di dalam dunia yang sumpek. Harus merasa superior atau unggul terhadap yang lain meski sebenarnya itu nggak penting. Merasa bisa dan mampu tapi kicep juga ketika disodori kenyataan bahwa apa yang dikerjakan ya cuma gitu-gitu doang.
Itu menandakan bahwa di dalam dunia yang sempit, hidup mereka jauh lebih pengap, cetek, dan cupet. Berbahaya? Sudah pasti. Dengan perspektif yang muncul dalam memandang hidup dan dunia semacam itu, akan ada perasaan untuk bisa survive tanpa harus kemana-mana. Nggak heran jika eksposure nyata menjadi hal yang sangat sulit untuk didapat, cepat berpuas diri dan kuatir jika ada perubahan yang bersifat drastis. Rasa nyaman yang ada dibangun dengan interaksi dan dialog di antara itu-itu saja, tanpa pernah mau secara serius membuka diri untuk melihat dan mengalami perspektif berbeda. Kenalan boleh banyak, tapi teman terbatas. Diajak untuk bisa jump in ke habitat yang berbeda bakal mikir dua kali. Tapi uniknya model begitu sudah merasa menguasai dunia. Keyakinan semu yang dibangun bertahun-tahun adalah hasil melihat bagaimana diri sendiri mampu berdiri di atas dunia tanpa perlu memandangkan lebih lama.
"It's a small world. When you put it in a cemetery, it is." ~Kurt Vonnegut